Rabu, 12 November 2025

Perdagangan Orang; Kuliah Hukum dari Tiket Palsu ke Neraka

“Jika hukum hanya menunggu laporan, maka pelaku akan terus menjual tanpa nota”

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — “Di negeri yang katanya menjunjung martabat, ada yang menjual manusia seperti menjual barang.”

UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang lahir dari kenyataan pahit: Indonesia adalah salah satu negara sumber korban perdagangan manusia. Pasal demi pasal dalam UU ini adalah jeritan dari tubuh-tubuh yang dipaksa bekerja, dijual, dan diperlakukan seperti komoditas.

Sanksi pidana dalam UU ini tidak main-main: pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda hingga Rp600 juta. Tapi apakah hukum cukup tajam untuk menembus jaringan yang licik?

“Hukum harus lebih tajam dari janji manis para perekrut.”

Putusan PN Ruteng Nomor 159/Pid.B/2014/PN.RUT mengungkap praktik perdagangan orang yang dibungkus dengan janji pekerjaan. Terdakwa merekrut korban dengan iming-iming kerja layak di luar daerah, namun ternyata korban dijual ke pihak lain dan dipaksa bekerja tanpa upah.

Majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2007, dan menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun serta denda Rp120 juta. Putusan ini menjadi preseden penting bahwa praktik eksploitasi tidak bisa berlindung di balik dalih “penyaluran tenaga kerja.”

“Di balik brosur kerja, ada tiket satu arah menuju eksploitasi.”

Meski UU sudah ada, penegakan hukum masih tertatih. Banyak kasus tidak dilaporkan karena korban takut, malu, atau tidak tahu bahwa mereka adalah korban. Aparat penegak hukum pun kadang bingung membedakan antara perdagangan orang dan pelanggaran ketenagakerjaan biasa.

Padahal, perdagangan orang adalah kejahatan lintas batas, terorganisir, dan berdampak jangka panjang. Hukum harus proaktif, bukan reaktif. Edukasi publik, pelatihan aparat, dan perlindungan korban harus menjadi prioritas.

“Jika hukum hanya menunggu laporan, maka pelaku akan terus menjual tanpa nota.”

Putusan PN Ruteng adalah langkah awal. Tapi perubahan nyata baru terjadi jika masyarakat sadar, aparat sigap, dan negara hadir. Korban perdagangan orang bukan angka statistik. Mereka adalah manusia yang kehilangan hak, harapan, dan harga diri.

“Hukum bukan hanya soal menghukum. Ia harus menyembuhkan.”

Di pasar gelap perdagangan orang, tubuh manusia dihargai lebih murah dari barang elektronik. Tapi di ruang sidang, martabat manusia harus dipulihkan. UU Nomor 21 Tahun 2007 adalah pedang. Mari kita pastikan ia tidak berkarat.

Darius Leka, S.H.

 

#hukummelawanperdaganganorang #putusanruteng159 #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar