![]() |
| "Dalam hukum, yang tak terbukti tak bisa dituntut, dan yang tak berdasar tak bisa dibenarkan" |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Narasi bahwa Presiden Joko Widodo menjadi “pengendali” pemerintahan Prabowo Subianto bukan sekadar isu politik. Ia adalah tafsir sosial yang berkelindan dengan hukum, persepsi publik, dan dinamika transisi kekuasaan. Tapi benarkah bayang-bayang Jokowi melemahkan Prabowo, atau justru memperkuat fondasi pemerintahan baru?
Pasca penetapan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih,
publik menyaksikan transisi kekuasaan yang disebut “mulus” oleh berbagai media.
Namun di balik kemulusan itu, muncul narasi bahwa Jokowi masih memegang
kendali. Istilah “satu kapal dua nakhoda” menjadi metafora yang menggugah
sekaligus menggelisahkan.
Dalam hukum tata negara, masa transisi bukanlah ruang abu-abu. Kekuasaan
eksekutif tetap berada di tangan presiden aktif hingga pelantikan. Namun,
ketika presiden aktif dianggap terlalu dekat dengan presiden terpilih, muncul
pertanyaan: apakah ini bentuk kontinuitas atau dominasi?
Narasi “Jokowi pengendali” kerap digunakan oleh pihak-pihak yang ingin
mempertanyakan independensi Prabowo. Mereka menyebut bahwa kedekatan politik,
pengaruh keluarga, dan konsolidasi kekuasaan adalah bentuk subordinasi. Tapi
dalam hukum, pengaruh bukanlah pelanggaran. Yang menjadi masalah adalah jika
pengaruh itu mengarah pada konflik kepentingan, abuse of power, atau
pelanggaran etika jabatan.
Sebagai advokat, saya melihat bahwa narasi ini bisa menjadi alat politik
yang berbahaya jika tidak disertai bukti hukum. Tuduhan tanpa dasar bisa
menjadi pencemaran nama baik, dan dalam era digital, bisa melanggar UU ITE.
Dalam sistem presidensial, presiden terpilih memiliki mandat konstitusional
yang tidak bisa dikendalikan oleh mantan presiden, kecuali jika ada intervensi
formal yang melanggar hukum. Maka, narasi “pengendalian” harus dibuktikan
dengan tindakan nyata, bukan sekadar kedekatan atau simbol politik.
Jika Prabowo tunduk pada arahan Jokowi secara struktural, maka harus ada
bukti pelanggaran hukum. Jika tidak, maka narasi ini hanya menjadi alat
propaganda untuk melemahkan legitimasi pemerintahan baru.
Narasi politik adalah hak demokratis. Tapi ketika narasi itu menyentuh ranah
hukum, maka ia harus tunduk pada prinsip verifikasi. Kita tidak bisa membangun opini
publik di atas asumsi. Karena dalam hukum, yang tak terbukti tak bisa
dituntut, dan yang tak berdasar tak bisa dibenarkan.
Dan jika Prabowo memang dikendalikan, maka hukum akan menemukan jalannya.
Tapi jika tidak, maka narasi ini hanyalah bayang-bayang yang ditiupkan untuk
menutupi cahaya transisi.
Darius Leka, S.H.
#narasipengendali #bayangbayangkekuasaan
#prabowodikendalikan #jokowimasihberkuasa #transisiatautransplantasi #duanakhodasatukapal #kepemimpinandalambayangan #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar