![]() |
| "Kasus publik harus diselesaikan dengan prinsip akuntabilitas, bukan sekadar akrobat retorika" |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum, kadang panggung debat lebih ramai dari ruang sidang. Kali ini, dua tokoh publik yang sama-sama lantang bersuara—Refly Harun, sang pakar hukum tata negara, dan Faizal Assegaf, aktivis vokal yang tak segan menyentil kekuasaan—terlibat dalam debat panas yang menyeret nama Roy Suryo, Cs.
Kisah bermula dari mediasi antara Roy Suryo, Cs dan pihak
Istana terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Forum yang seharusnya
menjadi ruang dialog justru berubah menjadi arena walk out. Refly Harun,
bersama Roy Suryo dan beberapa tokoh lain, memilih meninggalkan forum karena
merasa dibungkam.
Namun, di balik panggung itu, muncul suara sumbang. Faizal
Assegaf, yang merasa dikhianati oleh manuver politik dan hukum yang terjadi,
menuding adanya pengkhianatan terhadap perjuangan bersama. Ia menyebut Refly
Harun telah “bermain dua kaki”—menjadi bagian dari mediasi yang menurutnya
justru melemahkan posisi hukum terhadap dugaan pelanggaran serius.
Sebagai advokat, saya melihat ini bukan sekadar drama dua
tokoh. Ini adalah potret buram bagaimana hukum bisa terseret dalam pusaran ego,
kepentingan, dan tafsir yang saling bertabrakan.
Faizal menuntut konsistensi moral. Refly menuntut ruang
dialog. Tapi publik menuntut kejelasan: apakah hukum masih punya taring, atau
hanya jadi alat tawar-menawar di meja mediasi?
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa mediasi
bukanlah pengkhianatan hukum, melainkan salah satu bentuk penyelesaian
sengketa non-litigasi yang diatur dalam hukum positif. Namun, ketika mediasi
dilakukan tanpa transparansi, tanpa partisipasi publik, dan tanpa kejelasan
mandat, ia bisa berubah menjadi panggung kompromi yang mencederai rasa
keadilan.
Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi telah lama menjadi
bola panas. Roy Suryo dan kawan-kawan mengklaim memiliki bukti, namun hingga
kini, proses hukumnya tak kunjung terang. Di sinilah letak kekecewaan Faizal:
ia merasa perjuangan hukum telah dibajak oleh manuver politik.
Refly Harun, di sisi lain, menegaskan bahwa mediasi bukan
berarti menyerah, melainkan strategi. Tapi publik bertanya: apakah hukum
bisa dinegosiasikan?
Sebagai advokat, saya ingin mengajak publik memahami bahwa:
- Hukum
bukan hanya soal benar dan salah, tapi juga soal proses dan etika.
- Mediasi
harus dilakukan dengan transparansi, bukan sembunyi-sembunyi.
- Perbedaan
pendapat antar tokoh hukum adalah hal wajar, tapi jangan sampai publik
jadi korban kebingungan.
- Kasus
publik harus diselesaikan dengan prinsip akuntabilitas, bukan sekadar
akrobat retorika.
Debat Refly dan Faizal bukan sekadar adu argumen. Ia adalah
cermin dari wajah hukum kita hari ini: penuh suara, tapi kadang kehilangan gema
keadilan. Di tengah sorotan kamera dan trending topic, kita bertanya: siapa
yang benar?
Mungkin bukan soal siapa yang menang debat. Tapi siapa yang tetap
setia pada suara nurani hukum, bukan sekadar panggung opini.
Darius Leka, S.H.
#debatbukanvonis
#etikahukumbukandrama #roysuryocs #reflyvsfaizal #hukumuntukrakyat
#advokatbersuara #mediasibukanmanipulasi
#jangkarkeadilan
#foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar