Minggu, 23 November 2025

Ketika Hukum Jadi Panggung; Debat Refly Harun vs Faizal Assegaf dan Bayang-Bayang Kasus Roy Suryo, Cs

"Kasus publik harus diselesaikan dengan prinsip akuntabilitas, bukan sekadar akrobat retorika"

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum, kadang panggung debat lebih ramai dari ruang sidang. Kali ini, dua tokoh publik yang sama-sama lantang bersuara—Refly Harun, sang pakar hukum tata negara, dan Faizal Assegaf, aktivis vokal yang tak segan menyentil kekuasaan—terlibat dalam debat panas yang menyeret nama Roy Suryo, Cs.

Kisah bermula dari mediasi antara Roy Suryo, Cs dan pihak Istana terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Forum yang seharusnya menjadi ruang dialog justru berubah menjadi arena walk out. Refly Harun, bersama Roy Suryo dan beberapa tokoh lain, memilih meninggalkan forum karena merasa dibungkam.

Namun, di balik panggung itu, muncul suara sumbang. Faizal Assegaf, yang merasa dikhianati oleh manuver politik dan hukum yang terjadi, menuding adanya pengkhianatan terhadap perjuangan bersama. Ia menyebut Refly Harun telah “bermain dua kaki”—menjadi bagian dari mediasi yang menurutnya justru melemahkan posisi hukum terhadap dugaan pelanggaran serius.

Sebagai advokat, saya melihat ini bukan sekadar drama dua tokoh. Ini adalah potret buram bagaimana hukum bisa terseret dalam pusaran ego, kepentingan, dan tafsir yang saling bertabrakan.

Faizal menuntut konsistensi moral. Refly menuntut ruang dialog. Tapi publik menuntut kejelasan: apakah hukum masih punya taring, atau hanya jadi alat tawar-menawar di meja mediasi?

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa mediasi bukanlah pengkhianatan hukum, melainkan salah satu bentuk penyelesaian sengketa non-litigasi yang diatur dalam hukum positif. Namun, ketika mediasi dilakukan tanpa transparansi, tanpa partisipasi publik, dan tanpa kejelasan mandat, ia bisa berubah menjadi panggung kompromi yang mencederai rasa keadilan.

Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi telah lama menjadi bola panas. Roy Suryo dan kawan-kawan mengklaim memiliki bukti, namun hingga kini, proses hukumnya tak kunjung terang. Di sinilah letak kekecewaan Faizal: ia merasa perjuangan hukum telah dibajak oleh manuver politik.

Refly Harun, di sisi lain, menegaskan bahwa mediasi bukan berarti menyerah, melainkan strategi. Tapi publik bertanya: apakah hukum bisa dinegosiasikan?

Sebagai advokat, saya ingin mengajak publik memahami bahwa:

  • Hukum bukan hanya soal benar dan salah, tapi juga soal proses dan etika.
  • Mediasi harus dilakukan dengan transparansi, bukan sembunyi-sembunyi.
  • Perbedaan pendapat antar tokoh hukum adalah hal wajar, tapi jangan sampai publik jadi korban kebingungan.
  • Kasus publik harus diselesaikan dengan prinsip akuntabilitas, bukan sekadar akrobat retorika.

Debat Refly dan Faizal bukan sekadar adu argumen. Ia adalah cermin dari wajah hukum kita hari ini: penuh suara, tapi kadang kehilangan gema keadilan. Di tengah sorotan kamera dan trending topic, kita bertanya: siapa yang benar?

Mungkin bukan soal siapa yang menang debat. Tapi siapa yang tetap setia pada suara nurani hukum, bukan sekadar panggung opini.

Darius Leka, S.H.

 

#debatbukanvonis #etikahukumbukandrama #roysuryocs #reflyvsfaizal #hukumuntukrakyat #advokatbersuara #mediasibukanmanipulasi #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar