Minggu, 23 November 2025

Mengapa RUU KUHAP Ditolak? Karena Hukum Tak Boleh Jadi Hantu yang Tak Terlihat

"Hukum harus dibangun di atas fondasi kepercayaan publik"

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — Di tengah riuh rendah demokrasi yang kerap dibungkam oleh palu sidang, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2025 melenggang mulus di ruang paripurna. Tapi di luar gedung megah itu, suara-suara sumbang menggema: “Tolak RUU KUHAP!”—bukan karena alergi pada hukum, tapi karena cinta pada keadilan yang tak ingin dibungkus diam-diam.

KUHAP adalah kitab suci prosedur pidana. Ia menentukan bagaimana seseorang ditangkap, ditahan, diadili, dan dibebaskan. Ia bukan sekadar aturan teknis, tapi pagar pelindung hak asasi manusia. Maka ketika ia direvisi, publik berhak bertanya: “Apakah pagar ini diperkuat, atau justru dilubangi?”

Koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum menolak RUU KUHAP karena beberapa alasan krusial:

  • Minimnya partisipasi publik. Pembahasan dilakukan terburu-buru, hanya dua hari di tingkat I, tanpa mengindahkan masukan dari publik dan akademisi.
  • Perluasan kewenangan aparat. Pasal-pasal seperti undercover buy dan controlled delivery bisa digunakan untuk semua jenis tindak pidana, tanpa pengawasan hakim. Ini membuka ruang kriminalisasi dan jebakan hukum.
  • Lemahnya kontrol yudisial. RUU ini dinilai mempertahankan pendekatan represif dan formalis, tanpa koreksi terhadap praktik penyiksaan dan penyalahgunaan wewenang.
  • Potensi pelanggaran HAM. Alih-alih memperkuat due process of law, RUU ini justru memberi ruang bagi aparat untuk bertindak tanpa batas.

Seperti kopi yang diseduh tanpa sabar, hukum yang diburu-buru hanya akan menyisakan ampas pahit. RUU KUHAP disusun dengan kecepatan tinggi demi mengejar sinkronisasi dengan KUHP baru yang akan berlaku Januari 2026. Tapi apakah keadilan bisa dikejar-kejar waktu?

Sebagaimana dikatakan Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, “RUU ini disusun terburu-buru dan luput mengakomodasi keberatan masyarakat.”

Tagar #SemuaBisaKena bukan sekadar slogan. Ia adalah peringatan. Bahwa dengan kewenangan yang terlalu luas, siapa pun bisa jadi tersangka. Hari ini mungkin mereka, besok bisa kita. Hukum yang tak transparan adalah hantu: tak terlihat, tapi bisa mencengkeram kapan saja.

Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus dibangun di atas fondasi kepercayaan publik. Revisi KUHAP seharusnya menjawab keresahan, bukan menambah ketakutan. Hukum bukan alat kekuasaan, tapi pelindung warga.

Jika RUU KUHAP ingin sah, maka ia harus sah secara moral, bukan hanya prosedural. Karena hukum yang adil bukan yang cepat disahkan, tapi yang lambat namun berpihak pada keadilan.

Darius Leka, S.H.

 

#tolakruukuhap #semuabisakena #hukumuntukrakyat #kuhapbukansenjata #advokatbersuara #reformasihukumjangansetengah #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar