Minggu, 23 November 2025

Dari Diragukan ke Dibuktikan; Gibran dan Tafsir Hukum atas Legitimasi Wakil Presiden

"Dalam hukum, yang diuji bukan darah, tapi data; bukan nama, tapi norma"

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — Dulu ia disebut “anak bawang”, kini ia duduk di kursi nomor dua republik. Gibran Rakabuming Raka, sosok yang sempat diragukan kapasitasnya, kini perlahan membalikkan narasi. Tapi di balik sorotan kamera dan tepuk tangan politik, ada satu pertanyaan penting: bagaimana hukum memandang legitimasi dan pembuktian kapasitas seorang wakil presiden yang lahir dari kontroversi?

Gibran bukan tokoh politik konvensional. Ia datang dari jalur yang tak biasa: pengusaha muda, lalu wali kota, dan kini wakil presiden. Banyak yang mencibir, menyebutnya “anak presiden” yang menumpang nama. Bahkan, pencalonannya sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap melanggar batas usia yang diatur dalam UU Pemilu.

Namun, sejarah mencatat: Mahkamah mengabulkan sebagian gugatan, membuka jalan bagi Gibran melalui celah “pengalaman sebagai kepala daerah”. Celah hukum itu menjadi jembatan politik. Dan dari situlah narasi keraguan mulai tumbuh.

Sebagai advokat, saya memahami bahwa legitimasi dalam hukum bukan soal persepsi, tapi soal prosedur. Gibran telah melalui proses verifikasi KPU, lolos dari uji materi di MK, dan akhirnya menang dalam pemilu yang sah. Maka, dari kacamata hukum, ia adalah wakil presiden yang sah dan konstitusional.

Namun, hukum tak bisa memaksa publik untuk percaya. Di sinilah pentingnya pembuktian kinerja. Dan Gibran, perlahan, mulai menjawab keraguan itu bukan dengan kata-kata, tapi dengan kerja.

Salah satu titik balik terjadi saat debat cawapres. Gibran tampil percaya diri, menyodorkan gagasan tentang ekonomi digital, bonus demografi, dan teknologi pangan. Ia tak hanya menjawab pertanyaan, tapi juga menyerang balik dengan data. Bahkan, Tim Kampanye Nasional menyebutnya sebagai “pemenang debat”.

Apakah itu cukup? Tentu tidak. Tapi dalam hukum, pembuktian adalah proses, bukan pernyataan. Dan Gibran tampaknya paham betul: bahwa kepercayaan publik dibangun dari konsistensi, bukan dari garis keturunan.

Dalam hukum, tak ada pasal yang menyebut “anak siapa” sebagai syarat sah jabatan. Yang ada adalah prosedur, syarat administratif, dan hasil pemilu. Maka, ketika publik meragukan Gibran karena ia anak presiden, kita harus bertanya: apakah kita sedang menilai hukum, atau sekadar menilai silsilah?

Karena dalam hukum, yang diuji bukan darah, tapi data; bukan nama, tapi norma.

Darius Leka, S.H.

 

#gibranmenjawabkeraguan #wapresyangduludiragukan #daricibirankekepemimpinan #gibranbicaradengankinerja #bukansekadaranakpresiden #wapresdenganmandat #darisolokeistana #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar