![]() |
| "Dalam hukum, yang paling kuat bukan pasal, tapi niat baik yang dibuktikan dengan tindakan nyata" |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini, Kementerian Agama RI menggelar perayaan Natal bersama. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyebut momen ini sebagai langkah bersejarah. Tapi di balik gemerlap seremonial, ada gema hukum yang patut direnungkan.
Selama ini, Natal identik dengan dua denominasi besar: Kristen dan Katolik.
Namun tahun ini, Kemenag memutuskan untuk merayakan Natal bersama sebagai
institusi negara yang menaungi semua agama. “Selama ini kan Natal Kristen,
Natal Katolik. Tapi Natal Kementerian Agamanya enggak. Nah, hari ini dan tahun
ini kita akan membuat sejarah,” ujar Menag Nasaruddin Umar dalam acara Jalan
Sehat Lintas Agama.
Langkah ini bukan sekadar simbolik. Ia adalah pernyataan politik, sosial,
dan hukum bahwa negara hadir bukan hanya sebagai fasilitator ibadah, tapi juga
sebagai penjaga harmoni.
Dalam perspektif hukum tata negara, perayaan ini adalah wujud konkret dari
Pasal 29 UUD 1945: negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Namun, jaminan
konstitusional ini sering kali terjebak dalam tafsir sempit dan birokrasi yang
kaku.
Dengan menggelar Natal bersama, Kemenag menggeser paradigma: dari toleransi
sebagai wacana, menjadi toleransi sebagai kebijakan. Ini bukan sekadar pesta,
tapi preseden hukum yang bisa membuka ruang bagi perayaan lintas agama di
institusi negara lainnya.
Tentu, tak semua pihak bersorak. Di sudut-sudut digital, ada suara sumbang
yang menyebut ini sebagai “pencitraan” atau “agenda politik”. Tapi bukankah
setiap langkah maju selalu diiringi oleh keraguan? Dalam hukum, niat baik harus
dibuktikan dengan prosedur yang sah dan transparan.
Dan jika perayaan ini adalah pencitraan, maka biarlah ia menjadi citra yang
baik: bahwa negara tak hanya hadir saat konflik, tapi juga saat lilin
dinyalakan dan lagu damai dinyanyikan.
Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai momen penting. Hukum tak selalu
harus hadir dalam bentuk pasal dan sanksi. Ia juga bisa hadir dalam bentuk
pelukan, doa bersama, dan meja makan yang terbuka untuk semua. Ketika Kemenag
merayakan Natal, ia sedang menulis bab baru dalam buku hukum sosial kita: bahwa
keberagaman bukan ancaman, tapi aset.
Karena dalam hukum, yang paling kuat bukan pasal, tapi niat baik yang
dibuktikan dengan tindakan nyata.
Darius Leka, S.H.
#natalbersamakemenag #sejarahtoleransinegeri
#langkahberanikemenag #natalpertamadikemenag #negarahadiruntuksemua #toleransidibingkaihukum #menagmenulissejarah #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar