Minggu, 23 November 2025

Kemenag Gelar Natal Bersama Perdana; Ketika Toleransi Menjadi Produk Hukum dan Sejarah

"Dalam hukum, yang paling kuat bukan pasal, tapi niat baik yang dibuktikan dengan tindakan nyata"

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — Untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini, Kementerian Agama RI menggelar perayaan Natal bersama. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyebut momen ini sebagai langkah bersejarah. Tapi di balik gemerlap seremonial, ada gema hukum yang patut direnungkan.

Selama ini, Natal identik dengan dua denominasi besar: Kristen dan Katolik. Namun tahun ini, Kemenag memutuskan untuk merayakan Natal bersama sebagai institusi negara yang menaungi semua agama. “Selama ini kan Natal Kristen, Natal Katolik. Tapi Natal Kementerian Agamanya enggak. Nah, hari ini dan tahun ini kita akan membuat sejarah,” ujar Menag Nasaruddin Umar dalam acara Jalan Sehat Lintas Agama.

Langkah ini bukan sekadar simbolik. Ia adalah pernyataan politik, sosial, dan hukum bahwa negara hadir bukan hanya sebagai fasilitator ibadah, tapi juga sebagai penjaga harmoni.

Dalam perspektif hukum tata negara, perayaan ini adalah wujud konkret dari Pasal 29 UUD 1945: negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Namun, jaminan konstitusional ini sering kali terjebak dalam tafsir sempit dan birokrasi yang kaku.

Dengan menggelar Natal bersama, Kemenag menggeser paradigma: dari toleransi sebagai wacana, menjadi toleransi sebagai kebijakan. Ini bukan sekadar pesta, tapi preseden hukum yang bisa membuka ruang bagi perayaan lintas agama di institusi negara lainnya.

Tentu, tak semua pihak bersorak. Di sudut-sudut digital, ada suara sumbang yang menyebut ini sebagai “pencitraan” atau “agenda politik”. Tapi bukankah setiap langkah maju selalu diiringi oleh keraguan? Dalam hukum, niat baik harus dibuktikan dengan prosedur yang sah dan transparan.

Dan jika perayaan ini adalah pencitraan, maka biarlah ia menjadi citra yang baik: bahwa negara tak hanya hadir saat konflik, tapi juga saat lilin dinyalakan dan lagu damai dinyanyikan.

Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai momen penting. Hukum tak selalu harus hadir dalam bentuk pasal dan sanksi. Ia juga bisa hadir dalam bentuk pelukan, doa bersama, dan meja makan yang terbuka untuk semua. Ketika Kemenag merayakan Natal, ia sedang menulis bab baru dalam buku hukum sosial kita: bahwa keberagaman bukan ancaman, tapi aset.

Karena dalam hukum, yang paling kuat bukan pasal, tapi niat baik yang dibuktikan dengan tindakan nyata.

Darius Leka, S.H.

 

#natalbersamakemenag #sejarahtoleransinegeri #langkahberanikemenag #natalpertamadikemenag #negarahadiruntuksemua #toleransidibingkaihukum #menagmenulissejarah #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar