Sabtu, 22 November 2025

Mengapa Ijazah Tak Terautentikasi? Sebuah Drama Hukum di Negeri Demokrasi

Apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum dan transparansi, ada satu kisah yang menggugah nalar dan nurani. Kisah tentang selembar kertas bernama ijazah, yang seharusnya menjadi bukti sahih pendidikan, namun justru menjadi teka-teki yang tak kunjung terpecahkan. Dan di tengah pusaran itu, berdirilah seorang peneliti bernama Bonatua Silalahi, yang niatnya sederhana: mencari kebenaran.

Bonatua bukanlah pemburu sensasi. Ia seorang doktor kebijakan publik, yang dengan tekun menelusuri jejak akademik Presiden Joko Widodo. Tujuannya bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk menguji sistem: apakah negara ini benar-benar menyimpan dokumen penting pejabat publik dengan semestinya? Apakah lembaga seperti KPU dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menjalankan tugasnya dengan akuntabilitas?

Namun, alih-alih menemukan jawaban, Bonatua justru menemukan “data sampah”. Salinan ijazah yang ia peroleh dari KPU dan KPUD DKI Jakarta ternyata tidak memiliki autentikasi resmi. Tidak ada cap basah, tidak ada pengesahan dari lembaga pendidikan, bahkan ANRI pun mengaku tak memiliki salinan resmi ijazah Presiden.

Penelitian Bonatua terhenti. Bukan karena kurang data, tapi karena data yang ada tak bisa diverifikasi. Ia bahkan mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi agar autentikasi ijazah dijadikan syarat wajib bagi calon pejabat publik. Namun, sistem seolah menutup telinga. Apakah ini bentuk kelalaian administratif, atau ada yang lebih dalam dari sekadar kelupaan mengarsipkan?

Bonatua pun melaporkan ANRI dan KPU ke Bareskrim. Tapi seperti biasa, kabar itu tenggelam dalam riuh rendah politik dan opini publik yang terbelah. Di satu sisi, ada yang menyebutnya pahlawan transparansi. Di sisi lain, ia dicap pembuat gaduh. Bahkan, ancaman dari orang tak dikenal pun menghampirinya.

Sebagai advokat, saya hanya bisa mengelus dada. Ketika rakyat biasa mengurus legalisir ijazah, harus antre, bayar materai, dan menunggu berhari-hari. Tapi ketika menyangkut pejabat publik tertinggi, seolah semua prosedur bisa dilompati. Apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?

Padahal, dalam negara hukum, prinsip equality before the law adalah harga mati. Jika rakyat diminta jujur dan transparan, maka pejabat publik pun harus lebih dulu memberi teladan. Autentikasi ijazah bukan soal pribadi, tapi soal kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.

Kisah Bonatua adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa sistem kita masih punya lubang besar dalam hal akuntabilitas. Bahwa transparansi bukan hanya jargon kampanye, tapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Dan bahwa selembar ijazah bisa menjadi simbol: apakah kita benar-benar serius membangun negara hukum?

Mungkin sudah saatnya kita bertanya: Apakah kita masih percaya pada sistem yang tak bisa membuktikan hal sesederhana selembar ijazah?

Karena dalam demokrasi, kebenaran bukan milik penguasa, tapi milik rakyat yang berani bertanya.

Darius Leka, S.H.

 

#ijazahyangtaktersentuh #misteriselembarijazah #bonatuadanbukti #ijazahtanpajejak #kebenaranyangtertunda #ijazahpresidendimana #negeritanpaautentikasi #bonatuamelawansunyi #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar