![]() |
| “Maaf, Anda bukan korban. Kami tak bisa proses” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Dalam dunia hukum pidana Indonesia, ada dua cara utama untuk memulai proses hukum: pelaporan dan pengaduan. Keduanya sering digunakan bergantian oleh publik, tapi secara hukum, mereka punya perbedaan mendasar.
Pelaporan adalah pintu terbuka untuk semua. Pengaduan adalah
pintu khusus, hanya bisa dibuka oleh yang merasa dirugikan.
- Pelaporan: Dilakukan oleh siapa saja yang mengetahui atau
menyaksikan tindak pidana. Tidak harus korban. Contohnya: melihat
pencurian, lalu melapor ke polisi.
- Pengaduan: Hanya bisa dilakukan oleh korban atau pihak yang
dirugikan secara langsung. Berlaku untuk delik aduan, seperti
pencemaran nama baik, perzinahan, atau penghinaan.
Tanpa pengaduan dari korban, polisi tidak bisa memproses
delik aduan. Bahkan jika ada bukti kuat, hukum tetap menunggu suara korban.
Bayangkan seseorang datang ke kantor polisi dengan semangat
keadilan. Ia melaporkan tetangganya yang menghina temannya. Tapi polisi
berkata:
“Maaf, Anda bukan korban. Kami tak bisa proses.”
Hukum pun tampak seperti resepsionis hotel: “Maaf, Anda
bukan tamu yang terdaftar.”
Pelaporan adalah suara publik. Pengaduan adalah jeritan
pribadi. Di antara keduanya, hukum menimbang: apakah luka itu cukup dalam untuk
diangkat ke meja penyidik?
Dan kadang, luka yang dalam pun tak bisa diproses… jika
korban memilih diam.
Memahami perbedaan pelaporan dan pengaduan bukan sekadar
soal istilah. Ini soal bagaimana hukum bekerja, siapa yang berhak bicara, dan
kapan negara boleh turun tangan.
Karena dalam hukum pidana, tak semua kejahatan bisa ditindak
tanpa suara korban. Dan tak semua suara bisa langsung jadi perkara.
Darius Leka, S.H.
#pelaporanvspengaduan #delikaduan #hukumuntukkorban #laportakselaludiproses
#pengaduanadalahhak #pintumasukperkara #hukumindonesia #keadilanberbasissuara #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar