![]() |
| “Di dunia maya, satu klik bisa jadi awal dari keyakinan yang salah arah” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di zaman ketika bom bisa dirakit dari ide, dan teror disebar lewat tautan, hukum tak boleh diam.” Dulu, radikalisme menyebar lewat ceramah sembunyi-sembunyi. Kini, ia menyusup lewat video motivasi, meme religius, hingga komentar yang tampak biasa. Dunia maya telah menjadi ladang subur bagi propaganda terorisme—cepat, murah, dan sulit dilacak.
Menurut data BNPT, dari Januari hingga Agustus 2025,
terdapat 6.402 konten bermuatan radikalisme dan terorisme yang tersebar
di media sosial dan situs daring. Sebagian besar adalah konten lama yang terus
didaur ulang, membuktikan bahwa ide bisa abadi jika tak dibantah.
“Di dunia maya, satu klik bisa jadi awal dari keyakinan yang
salah arah.”
Propaganda radikal tak selalu frontal. Ia sering datang
dalam bentuk narasi korban, teori konspirasi, atau ajakan hijrah yang dibumbui
kebencian. Algoritma media sosial memperparahnya: semakin sering diklik,
semakin sering muncul.
BNPT menyusun tiga strategi utama untuk melawan ini:
- Pencegahan
dan literasi digital:
membangun daya tahan masyarakat terhadap narasi ekstrem.
- Penindakan
hukum: bekerja sama dengan 48
kementerian/lembaga dalam RAN PE (Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan Ekstremisme).
- Kolaborasi
multipihak: menggandeng tokoh agama,
influencer, dan platform digital.
“Jika algoritma bisa menyebar kebencian, maka hukum harus
menyebar kesadaran.”
UU ITE, UU Terorisme, dan Perpres RAN PE adalah payung hukum
yang digunakan. Tapi hukum tak boleh hanya reaktif. Ia harus proaktif—mendeteksi,
membantah, dan membongkar narasi radikal sebelum viral.
Tantangannya? Menyaring tanpa membungkam. Menindak tanpa
melanggar kebebasan berekspresi. Di sinilah hukum harus lentur tapi tegas,
seperti bambu yang tak mudah patah.
“Hukum yang kaku akan patah. Hukum yang bijak akan
menuntun.”
Radikalisme digital bukan hanya soal konten. Ia soal
keterasingan, ketidakadilan, dan pencarian makna. Maka pencegahan harus
menyentuh akar: pendidikan, keadilan sosial, dan ruang dialog.
Karena satu hal yang tak bisa dibantah: mereka yang merasa
didengar, tak akan mudah dipengaruhi.
“Jika negara hadir di kolom komentar, mungkin tak ada yang
ingin meledakkan dirinya.”
Darius Leka, S.H.
#cegahradikalismedigital #hukummelawannarasisesat
#klikdengannalar #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar