Rabu, 12 November 2025

Advokat dan Organisasinya; Kuliah Hukum dari Profesi yang Terlalu Sering Dipecah

“Jika advokat adalah penegak hukum, maka organisasinya harus menjadi penegak integritas”

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — “Di negeri hukum, para penjaga hukum justru sering berselisih soal siapa yang paling sah menjaga.”

Organisasi advokat di Indonesia bukan cerita tunggal. Sejak masa kolonial, profesi ini telah memiliki wadah, tapi baru pada era reformasi muncul keinginan untuk menyatukan. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyebutkan bahwa advokat harus tergabung dalam satu organisasi profesi yang independen, bebas, dan mandiri.

Namun, idealisme itu tak bertahan lama. Setelah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) terbentuk sebagai wadah tunggal, konflik internal dan ego sektoral memecahnya. Kini, ada lebih dari delapan organisasi advokat yang mengklaim legitimasi.

“Jika hukum adalah simfoni, maka organisasi advokat adalah orkestra yang tak pernah sepakat nada dasar.”

Pasal 28 UU Advokat menyebutkan bahwa organisasi advokat dibentuk melalui musyawarah nasional. Tapi Pasal 32 menyatakan bahwa organisasi yang ada saat UU ini berlaku tetap diakui. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan: semua merasa sah, semua merasa paling konstitusional.

Mahkamah Konstitusi pernah diminta menafsirkan, tapi putusannya justru membuka ruang pluralisme organisasi. Akibatnya? Advokat bisa dilantik oleh berbagai organisasi, dengan standar yang berbeda-beda. Negara bingung, pengadilan bingung, masyarakat apalagi.

“Ketika satu profesi punya banyak pintu masuk, maka kualitas jadi taruhan.”

Konstitusi menjamin kebebasan berserikat. Tapi dalam konteks profesi hukum, kebebasan itu harus dibingkai oleh standar etik dan kompetensi yang seragam. Pelurusan sejarah organisasi advokat secara konstitusional bukan berarti memaksakan satu nama, tapi menyepakati satu sistem.

Negara harus hadir sebagai fasilitator, bukan penguasa. Organisasi advokat harus bersatu dalam kode etik, pendidikan profesi, dan mekanisme disiplin. Bukan bersaing dalam jumlah pelantikan.

“Jika advokat adalah penegak hukum, maka organisasinya harus menjadi penegak integritas.”

Pelurusan sejarah organisasi advokat bukan soal siapa yang lebih dulu, tapi siapa yang lebih jujur. Bukan soal siapa yang lebih besar, tapi siapa yang lebih taat pada konstitusi. Karena pada akhirnya, masyarakat tidak peduli siapa yang melantik. Mereka hanya peduli: apakah advokatnya bisa dipercaya?

“Hukum tanpa etika adalah kekuasaan. Organisasi tanpa etika adalah kerumunan.”

Sudah saatnya organisasi advokat berhenti saling menggugat dan mulai saling merangkul. Pelurusan sejarah bukan berarti menghapus masa lalu, tapi menyusun masa depan yang lebih tertib, lebih adil, dan lebih konstitusional.

Karena di negeri hukum, advokat bukan hanya profesi. Ia adalah simbol keadaban.

Darius Leka, S.H.

 

#advokat #peradi #hukumtanpadrama #pelurusankonstitusional #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar