![]() |
| “Jika advokat adalah penegak hukum, maka organisasinya harus menjadi penegak integritas” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di negeri hukum, para penjaga hukum justru sering berselisih soal siapa yang paling sah menjaga.”
Organisasi advokat di Indonesia bukan cerita tunggal. Sejak masa kolonial,
profesi ini telah memiliki wadah, tapi baru pada era reformasi muncul keinginan
untuk menyatukan. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat, yang menyebutkan bahwa advokat harus tergabung dalam
satu organisasi profesi yang independen, bebas, dan mandiri.
Namun, idealisme itu tak bertahan lama. Setelah Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi) terbentuk sebagai wadah tunggal, konflik internal dan ego
sektoral memecahnya. Kini, ada lebih dari delapan organisasi advokat yang
mengklaim legitimasi.
“Jika hukum adalah simfoni, maka organisasi advokat adalah orkestra yang tak
pernah sepakat nada dasar.”
Pasal 28 UU Advokat menyebutkan bahwa organisasi advokat dibentuk melalui
musyawarah nasional. Tapi Pasal 32 menyatakan bahwa organisasi yang ada saat UU
ini berlaku tetap diakui. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan: semua merasa
sah, semua merasa paling konstitusional.
Mahkamah Konstitusi pernah diminta menafsirkan, tapi putusannya justru
membuka ruang pluralisme organisasi. Akibatnya? Advokat bisa dilantik oleh
berbagai organisasi, dengan standar yang berbeda-beda. Negara bingung,
pengadilan bingung, masyarakat apalagi.
“Ketika satu profesi punya banyak pintu masuk, maka kualitas jadi taruhan.”
Konstitusi menjamin kebebasan berserikat. Tapi dalam konteks profesi hukum,
kebebasan itu harus dibingkai oleh standar etik dan kompetensi yang seragam.
Pelurusan sejarah organisasi advokat secara konstitusional bukan berarti
memaksakan satu nama, tapi menyepakati satu sistem.
Negara harus hadir sebagai fasilitator, bukan penguasa. Organisasi advokat
harus bersatu dalam kode etik, pendidikan profesi, dan mekanisme disiplin.
Bukan bersaing dalam jumlah pelantikan.
“Jika advokat adalah penegak hukum, maka organisasinya harus menjadi penegak
integritas.”
Pelurusan sejarah organisasi advokat bukan soal siapa yang lebih dulu, tapi
siapa yang lebih jujur. Bukan soal siapa yang lebih besar, tapi siapa yang
lebih taat pada konstitusi. Karena pada akhirnya, masyarakat tidak peduli siapa
yang melantik. Mereka hanya peduli: apakah advokatnya bisa dipercaya?
“Hukum tanpa etika adalah kekuasaan. Organisasi tanpa etika adalah
kerumunan.”
Sudah saatnya organisasi advokat berhenti saling menggugat dan mulai saling
merangkul. Pelurusan sejarah bukan berarti menghapus masa lalu, tapi menyusun
masa depan yang lebih tertib, lebih adil, dan lebih konstitusional.
Karena di negeri hukum, advokat bukan hanya profesi. Ia adalah simbol
keadaban.
Darius Leka, S.H.
#advokat #peradi #hukumtanpadrama #pelurusankonstitusional #jangkarkeadilan
#foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar