JANGKARKEADILAN, JAKARTA - Di bawah langit Sydney yang biru dan netral, seorang mantan menteri berdiri dengan map dan mikrofon. Roy Suryo, pakar telematika yang kini lebih sering tampil sebagai pengamat politik, mengklaim datang ke Australia untuk satu misi suci: meneliti keabsahan ijazah Gibran Rakabuming Raka. Namun, seperti kisah dalam novel satire, kabar yang beredar di media sosial justru menyebut agenda tersembunyi: lelang buku pribadi yang tak laku di kalangan diaspora.
Apakah ini ekspedisi ilmiah atau safari pencitraan?
Roy Suryo menyatakan bahwa ia telah mengunjungi University of Technology
Sydney (UTS) dan memperoleh informasi dari “tokoh penting” bahwa UTS Insearch
hanyalah lembaga kursus bahasa Inggris, bukan institusi setara SMA sebagaimana
tercantum dalam data pendidikan Gibran. Namun, pernyataan ini bertabrakan
dengan dokumen penyetaraan dari Kemendikbud yang telah mengakui ijazah tersebut
sejak 2019.
Dalam hukum administrasi negara, penyetaraan ijazah adalah keputusan
pejabat berwenang yang bersifat final dan mengikat, kecuali dibatalkan
oleh pengadilan. Maka, pertanyaannya: apakah Roy Suryo sedang meneliti
atau sedang menggugat tanpa legal standing?
Di sela-sela “penelitian”, Roy Suryo juga disebut-sebut menawarkan bukunya dalam format lelang kepada komunitas diaspora Indonesia di Sydney. Sayangnya, menurut kabar yang beredar, tak satu pun dari mereka tertarik membeli. Kalaupun ada yang membeli, itu pun dari “gerombolan sendiri”—sebuah istilah yang lebih cocok untuk novel politik ketimbang laporan akademik.
Jika benar demikian, maka kita menyaksikan transformasi kritik menjadi
komoditas, dan riset menjadi panggung promosi. Dalam etika hukum, ini
menimbulkan pertanyaan serius: apakah advokasi publik boleh dibungkus
dengan kepentingan pribadi?
Polemik ini mengingatkan kita bahwa hukum bukan panggung sandiwara. Jika
benar ada pelanggaran dalam proses pendidikan Gibran, maka jalur hukum adalah
tempatnya—bukan konferensi pers, bukan lelang buku, dan bukan siaran YouTube.
Sebaliknya, jika tuduhan tak berdasar dan hanya menjadi alat untuk menjual
narasi, maka kita harus waspada terhadap komodifikasi keadilan. Karena
dalam negara hukum, kebenaran tidak dijual dalam bundel buku, dan keadilan
tidak dilelang di negeri orang.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi.
Namun kritik yang sehat harus berbasis data, bukan drama. Jika Roy Suryo
benar-benar ingin menguji keabsahan ijazah Gibran, maka gugatan hukum
adalah jalannya, bukan lelang buku di negeri seberang.
Karena hukum bukan panggung, dan rakyat bukan penonton yang bisa dibohongi dengan naskah yang ditulis sepihak. (Adv. Darius Leka, S.H., M.H.)
#hukumbukanpanggung #keadilantakdilelang
#kritiktanpakomoditas #legalstandingitupenting #ijazahbukanisupolitik #advokasitanpasafari #kebenarantakdijual #roysuryodisydney #bukubukanbukti #diasporataktertipu #utsinsearchfaktaataufiksi #hukumadalahjalan #jangkarkeadilan #foryou
#fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas
@semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar