![]() |
| Jika hukum adalah panglima, maka etika seharusnya jadi kompas |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di panggung Republik, dua nama bersinar bukan karena prestasi, melainkan karena sanksi: Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Keduanya, anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena pelanggaran etik. Sahroni dinonaktifkan selama 6 bulan, Nafa selama 3 bulan. Tak ada gaji, tak ada hak keuangan. Tapi kursi empuk itu? Masih hangat menanti.
Lazimnya, sanksi etik seharusnya menjadi lonceng peringatan. Tapi di tubuh
partai, lonceng itu terdengar seperti musik latar. Ketua Umum Partai NasDem, Surya
Paloh, justru memilih untuk tidak melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW).
Alasannya? “Kami menghormati proses,” katanya, seolah etika cukup ditegakkan
dengan kata-kata.
Dalam dunia hukum, sanksi etik bukan sekadar formalitas. Ia adalah penanda
bahwa ada yang bengkok dari garis lurus integritas. Tapi ketika partai politik
menolak bertindak lebih jauh, publik pun bertanya: Apakah etika hanya
berlaku jika menguntungkan elektabilitas?
Surya Paloh, sang maestro politik, tampak lebih memilih menjaga harmoni internal
ketimbang mengorbankan loyalisnya. Ia tahu, dalam politik, mengganti pemain
bisa berarti mengganti peta kekuasaan. Maka, lebih baik menunda PAW, biarkan
waktu yang menyembuhkan, atau setidaknya membuat publik lupa.
Yang menarik, ini bukan sekadar soal dua nama. Ini soal bagaimana partai
memperlakukan etika. Ketika publik menuntut bersih, partai justru bermain aman.
Ketika MKD bicara sanksi, partai bicara proses. Seolah-olah, dua dunia ini tak
pernah benar-benar bersentuhan.
Dan rakyat? Mereka menonton. Di layar kaca, di linimasa media sosial, di
warung kopi. Mereka tahu, dalam politik, yang bersalah bisa tetap duduk, asal
punya pelindung. Dan yang jujur bisa tersingkir, jika tak punya kuasa.
Cerita ini bukan tentang dua orang. Ini tentang sistem yang membiarkan etika
jadi barang mewah. Tentang partai yang lebih takut kehilangan suara daripada
kehilangan moral. Dan tentang kita, yang terus berharap, meski tahu panggung
ini kadang lebih mirip sandiwara daripada sidang negara.
Jika hukum adalah panglima, maka etika seharusnya jadi kompas. Tapi jika kompasnya rusak, ke mana arah bangsa ini akan dibawa?
Darius Leka, S.H.
#etikadpr #mkdvsnasdem #suryapalohdiam #sahronidisanksi #nafaurbachdpr
#pawmacet #nasdemtolakpaw #jangkarkeadilan
#foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar