Sabtu, 22 November 2025

Ekonomi Cerdas ala Jokowi; Transisi atau Transaksi?

"Antara ambisi digital dan kesiapan hukum"

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — “Di panggung dunia, mantan presiden ke-7 Republik ini kembali bersuara. Bukan sebagai kepala negara, tapi sebagai suara yang masih menggema dalam ruang-ruang kebijakan global.”

Pada 21 November 2025, di Singapura, Joko Widodo, Presiden ke-7 Republik Indonesia, menyampaikan pidato dalam Bloomberg New Economy Forum—ajang prestisius yang mempertemukan 500 pemimpin dunia dari sektor publik dan swasta. Dalam kapasitasnya sebagai Global Advisory Board Member, Jokowi berbicara tentang arah baru Indonesia: transisi menuju ekonomi cerdas (intelligent economy).

Ia menegaskan bahwa transformasi digital bukan ancaman, melainkan peluang. “Saya sangat tidak setuju bahwa peluang kerja akan hilang,” ujarnya. Menurutnya, teknologi dan kecerdasan buatan justru membuka lapangan kerja baru, asalkan generasi muda dan UMKM dipersiapkan dengan keterampilan digital yang relevan.

Sebagai advokat, saya melihat pidato ini bukan hanya sebagai retorika ekonomi, tapi juga sebagai refleksi atas tanggung jawab hukum dan kebijakan publik. Jika ekonomi cerdas adalah masa depan, maka pertanyaannya:

  • Apakah regulasi kita sudah siap?
  • Apakah perlindungan data pribadi sudah kokoh?
  • Apakah hukum ketenagakerjaan telah beradaptasi dengan disrupsi digital?

Transisi menuju ekonomi cerdas bukan hanya soal infrastruktur digital dan QRIS. Ia menuntut reformasi hukum yang menyeluruh: dari perlindungan pekerja gig economy, pengawasan algoritma, hingga keadilan dalam akses teknologi.

Jokowi menyebut bahwa Indonesia telah berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur fisik dan digital. Tapi dalam hukum, kita tahu: pembangunan tanpa pemerataan adalah ketimpangan yang dibungkus kemajuan.

Ekonomi cerdas harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini:

  • Apakah petani di pelosok bisa mengakses pasar digital?
  • Apakah buruh pabrik yang tergantikan robot mendapat pelatihan ulang?
  • Apakah data warga digunakan secara etis oleh negara dan korporasi?

Jika tidak, maka ekonomi cerdas hanya akan menjadi ekonomi elitis—cerdas bagi segelintir, membingungkan bagi mayoritas.

Pidato Jokowi di Singapura adalah pengingat bahwa Indonesia sedang berada di persimpangan. Antara retorika global dan realitas lokal. Antara ambisi digital dan kesiapan hukum.

Sebagai masyarakat hukum, kita harus terus mengawal: apakah transisi ini benar-benar cerdas, atau hanya transaksi? Karena dalam demokrasi, kecerdasan ekonomi tak boleh mengorbankan keadilan sosial.

Darius Leka, S.H.

 

#ekonomicerdasataucerdasekonomi #hukumdigitalindonesia #jokowidibloombergforum #transisitanpatransparansi #edukasihukumpublik #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar