![]() |
| "Antara ambisi digital dan kesiapan hukum" |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di panggung dunia, mantan presiden ke-7 Republik ini kembali bersuara. Bukan sebagai kepala negara, tapi sebagai suara yang masih menggema dalam ruang-ruang kebijakan global.”
Pada 21 November 2025, di Singapura, Joko Widodo,
Presiden ke-7 Republik Indonesia, menyampaikan pidato dalam Bloomberg New
Economy Forum—ajang prestisius yang mempertemukan 500 pemimpin dunia dari
sektor publik dan swasta. Dalam kapasitasnya sebagai Global Advisory Board
Member, Jokowi berbicara tentang arah baru Indonesia: transisi menuju
ekonomi cerdas (intelligent economy).
Ia menegaskan bahwa transformasi digital bukan ancaman,
melainkan peluang. “Saya sangat tidak setuju bahwa peluang kerja akan hilang,”
ujarnya. Menurutnya, teknologi dan kecerdasan buatan justru membuka lapangan
kerja baru, asalkan generasi muda dan UMKM dipersiapkan dengan keterampilan
digital yang relevan.
Sebagai advokat, saya melihat pidato ini bukan hanya sebagai
retorika ekonomi, tapi juga sebagai refleksi atas tanggung jawab hukum dan
kebijakan publik. Jika ekonomi cerdas adalah masa depan, maka
pertanyaannya:
- Apakah
regulasi kita sudah siap?
- Apakah
perlindungan data pribadi sudah kokoh?
- Apakah
hukum ketenagakerjaan telah beradaptasi dengan disrupsi digital?
Transisi menuju ekonomi cerdas bukan hanya soal
infrastruktur digital dan QRIS. Ia menuntut reformasi hukum yang menyeluruh:
dari perlindungan pekerja gig economy, pengawasan algoritma, hingga keadilan
dalam akses teknologi.
Jokowi menyebut bahwa Indonesia telah berinvestasi
besar-besaran dalam infrastruktur fisik dan digital. Tapi dalam hukum, kita
tahu: pembangunan tanpa pemerataan adalah ketimpangan yang dibungkus
kemajuan.
Ekonomi cerdas harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini:
- Apakah
petani di pelosok bisa mengakses pasar digital?
- Apakah
buruh pabrik yang tergantikan robot mendapat pelatihan ulang?
- Apakah
data warga digunakan secara etis oleh negara dan korporasi?
Jika tidak, maka ekonomi cerdas hanya akan menjadi ekonomi
elitis—cerdas bagi segelintir, membingungkan bagi mayoritas.
Pidato Jokowi di Singapura adalah pengingat bahwa Indonesia
sedang berada di persimpangan. Antara retorika global dan realitas lokal.
Antara ambisi digital dan kesiapan hukum.
Sebagai masyarakat hukum, kita harus terus mengawal: apakah
transisi ini benar-benar cerdas, atau hanya transaksi? Karena dalam
demokrasi, kecerdasan ekonomi tak boleh mengorbankan keadilan sosial.
Darius Leka, S.H.
#ekonomicerdasataucerdasekonomi
#hukumdigitalindonesia #jokowidibloombergforum #transisitanpatransparansi
#edukasihukumpublik #jangkarkeadilan #foryou #fyp
#edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar