![]() |
| "Hukum bukan hanya soal pasal, tapi juga soal etika, komunikasi, dan kejujuran narasi" |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Dalam panggung hukum, tak semua yang tampak adalah kebenaran. Kadang, yang terdengar gaduh di permukaan hanyalah gema dari narasi yang belum utuh. Seperti kisah Dokter Tifauzia Tyassuma—atau yang akrab disapa Dokter Tifa—yang belakangan menjadi sorotan publik karena dugaan pencabutan kuasa hukum terhadap advokat Ahmad Khozinudin. Namun, benarkah kuasa itu dicabut? Atau justru ada babak yang tak pernah benar-benar dibuka ke publik?
Beberapa media sempat mengabarkan bahwa Dokter Tifa
“mencabut kuasa” terhadap tim hukum Ahmad Khozinudin dalam perkara ijazah
Presiden Joko Widodo. Sebuah narasi yang menggoda, dramatis, dan tentu
saja—mengundang klik. Namun, seperti kata pepatah hukum: audi alteram partem—dengarkan
juga sisi lainnya.
Dokter Tifa akhirnya angkat bicara. Dalam pernyataan yang
disampaikan ke publik, ia menegaskan bahwa tidak pernah ada pencabutan kuasa
secara sepihak dari pihaknya. Justru, menurutnya, pendampingan hukum oleh
Khozinudin telah berakhir lima bulan lalu, dan itu pun dilakukan secara
sepihak oleh pihak pengacara.
Dalam hukum, surat kuasa adalah kontrak perdata. Ia hidup,
berlaku, dan bisa berakhir—baik karena dicabut, karena tugas telah selesai,
atau karena kehendak salah satu pihak. Namun, ketika perpisahan itu terjadi
tanpa penjelasan yang utuh, publik mudah terjebak dalam asumsi.
Dokter Tifa menyebut bahwa sejak lima bulan lalu, ia bukan
lagi klien dari tim hukum Khozinudin. Artinya, secara administratif, tidak ada
lagi hubungan hukum yang mengikat. Maka, istilah “pencabutan kuasa” menjadi
tidak relevan. Yang terjadi adalah penghentian pendampingan hukum secara
sepihak oleh tim pengacara.
Sebagai advokat, saya melihat ini bukan sekadar drama
personal. Ini adalah cermin dari pentingnya transparansi dalam relasi hukum.
Publik perlu memahami bahwa:
- Kuasa
hukum bukan pernikahan.
Ia bisa berakhir kapan saja, dengan atau tanpa drama.
- Komunikasi
adalah kunci. Ketika relasi hukum berakhir,
klarifikasi publik penting untuk mencegah distorsi.
- Media
harus hati-hati. Mengutip tanpa verifikasi bisa
menyesatkan opini publik.
Dalam dunia hukum, kadang yang paling gaduh bukanlah yang
paling benar. Yang paling sunyi justru menyimpan kebenaran yang tak terucap.
Dan dalam kasus ini, mungkin kita semua perlu belajar satu hal: bahwa dalam
relasi hukum, yang tak dikatakan bisa lebih penting dari yang diumumkan.
Jadi, sebelum kita bersorak atas “pencabutan kuasa”, mari
kita bertanya: siapa sebenarnya yang meninggalkan siapa?
Hukum bukan hanya soal pasal, tapi juga soal etika,
komunikasi, dan kejujuran narasi.
Darius Leka, S.H.
#kuasatakselaludicabut
#hukumbicarafakta #advokatbukanbayangan #kontrakbukandrama
#berakhirbukanberartidibuang #jangkarkeadilan
#foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar