Jumat, 12 Juni 2020

“Wonga Uta: Hukum, Harapan, dan Petani yang Tak Layu”


JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di sebuah lembah subur di Nagekeo, Boawae, nama “Wonga Uta” tumbuh bukan sekadar sebagai label tani, tapi sebagai filosofi hidup. Dalam bahasa lokal, “Wonga Uta” bisa berarti “bunga labu”—pagi segar, siang layu, sore tumbang. Namun jangan buru-buru menilai. Sebab di balik metafora yang tampak rapuh itu, tersembunyi semangat yang tak pernah gugur.

Wonga Uta bukan sekadar nama kelompok tani. Ia adalah satire hidup yang menampar persepsi. Di atas kertas, ia terdengar seperti ironi: segar di pagi, layu di siang, tumbang di sore. Tapi di ladang, para petani justru membalikkan tafsir itu. Mereka bukan daun yang gugur, mereka akar yang mengakar. Mereka bukan layu, mereka bertahan.

Saya tahu, karena saya pernah di sana. Tahun 1990 hingga 1992, saya bukan hanya Muda-Mudi Katolik (Mudika), tapi juga petani. Saya menyaksikan sendiri: tua-muda, laki-perempuan, semua bekerja dengan semangat yang tak bisa ditakar oleh statistik. Mereka menanam bukan hanya padi, tapi harga diri.

Malam-malam di Boawae bukan untuk tidur, tapi untuk menyelesaikan pekerjaan. Di bawah cahaya lampu petromax—yang kami sebut “lampu gas”—kami bekerja hingga tuntas. Prinsip kami sederhana: pantang pulang sebelum padam. Sebuah semboyan pemadam kebakaran yang kami adopsi sebagai etika kerja. Dan bukankah itu juga seharusnya menjadi prinsip hukum?

Hukum yang baik adalah hukum yang menyala, bahkan ketika listrik padam. Ia harus hadir di ladang, bukan hanya di ruang sidang. Ia harus berpihak pada petani, bukan hanya pada pemilik modal.

Sayangnya, hukum agraria kita seringkali seperti “Wonga Uta” versi pesimis: segar di pagi (saat kampanye), layu di siang (saat implementasi), dan tumbang di sore (saat audit). Banyak regulasi yang lahir tanpa mendengar suara petani. Banyak program yang gagal panen karena lupa menyiram akar: keadilan.

Kelompok tani seperti Wonga Uta seharusnya mendapat perlindungan hukum yang kuat. Mereka bukan objek pembangunan, mereka subjek kehidupan. Mereka bukan statistik, mereka strategi. Tapi hingga kini, banyak dari mereka masih berjuang tanpa payung hukum yang memadai.

Wonga Uta adalah kisah tentang semangat yang tak lekang oleh waktu. Tentang petani yang tak tumbang meski diterpa panas dan hujan. Tentang hukum yang seharusnya hadir bukan hanya sebagai teks, tapi sebagai terang.

Di tengah dunia yang sibuk membicarakan investasi dan digitalisasi, mari kita ingat: tak ada startup yang bisa hidup tanpa makan. Dan tak ada makan tanpa petani.

Maka, hormatilah mereka. Lindungilah mereka. Dan jangan pernah anggap mereka layu.

Karena Wonga Uta bukan tentang tumbang. Ia tentang tumbuh.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Diapora Nagkeo-Flores, NTT tinggal di Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar