![]() |
Wonga Uta bukan sekadar nama kelompok tani. Ia adalah satire
hidup yang menampar persepsi. Di atas kertas, ia terdengar seperti ironi: segar
di pagi, layu di siang, tumbang di sore. Tapi di ladang, para petani justru
membalikkan tafsir itu. Mereka bukan daun yang gugur, mereka akar yang
mengakar. Mereka bukan layu, mereka bertahan.
Saya tahu, karena saya pernah di sana. Tahun 1990 hingga
1992, saya bukan hanya Muda-Mudi Katolik (Mudika), tapi juga petani. Saya menyaksikan
sendiri: tua-muda, laki-perempuan, semua bekerja dengan semangat yang tak bisa
ditakar oleh statistik. Mereka menanam bukan hanya padi, tapi harga diri.
Malam-malam di Boawae bukan untuk tidur, tapi untuk
menyelesaikan pekerjaan. Di bawah cahaya lampu petromax—yang kami sebut “lampu
gas”—kami bekerja hingga tuntas. Prinsip kami sederhana: pantang pulang
sebelum padam. Sebuah semboyan pemadam kebakaran yang kami adopsi sebagai
etika kerja. Dan bukankah itu juga seharusnya menjadi prinsip hukum?
Hukum yang baik adalah hukum yang menyala, bahkan ketika
listrik padam. Ia harus hadir di ladang, bukan hanya di ruang sidang. Ia harus
berpihak pada petani, bukan hanya pada pemilik modal.
Sayangnya, hukum agraria kita seringkali seperti “Wonga Uta” versi pesimis: segar di pagi (saat kampanye), layu di siang (saat implementasi), dan tumbang di sore (saat audit). Banyak regulasi yang lahir tanpa mendengar suara petani. Banyak program yang gagal panen karena lupa menyiram akar: keadilan.
Kelompok tani seperti Wonga Uta seharusnya mendapat
perlindungan hukum yang kuat. Mereka bukan objek pembangunan, mereka subjek
kehidupan. Mereka bukan statistik, mereka strategi. Tapi hingga kini, banyak dari
mereka masih berjuang tanpa payung hukum yang memadai.
Wonga Uta adalah kisah tentang semangat yang tak lekang oleh
waktu. Tentang petani yang tak tumbang meski diterpa panas dan hujan. Tentang
hukum yang seharusnya hadir bukan hanya sebagai teks, tapi sebagai terang.
Di tengah dunia yang sibuk membicarakan investasi dan
digitalisasi, mari kita ingat: tak ada startup yang bisa hidup tanpa makan. Dan
tak ada makan tanpa petani.
Maka, hormatilah mereka. Lindungilah mereka. Dan jangan
pernah anggap mereka layu.
Karena Wonga Uta bukan tentang tumbang. Ia tentang tumbuh.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Diapora Nagkeo-Flores, NTT tinggal di Jakarta)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar