Jumat, 12 Juni 2020

“Masker, Sembako, dan Hukum yang Tak Pernah Lapar”



JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di tengah pandemi yang tak kunjung reda, ketika angka kesembuhan masih malu-malu menampakkan harapan, hukum pun ikut bersin. Ia batuk-batuk di lorong pengadilan, terengah di antara pasal dan penderitaan. Dunia sedang sakit, Indonesia demam tinggi. Tapi di balik masker dan protokol, ada wajah-wajah yang tak pernah masuk siaran pers: para pemulung, tukang loak, dan mereka yang hidup di pinggir hukum dan ekonomi.

Pada Kamis, 20 Mei 2020, sebuah barisan tak biasa berbaris di halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Bukan demonstrasi, bukan sidang perkara. Mereka adalah Barisan Advokat Pengawal Jokowi-Ma’ruf (BAP JOMA), membawa bukan gugatan, tapi sembako dan masker. Titik awalnya bukan ruang sidang, melainkan ruang empati. Tujuannya: Rawamangun, Duren Sawit, Jatinegara, Penggilingan. Di sana, hukum tak lagi bicara pasal, tapi pangan.

Iwan Saputra, S.H., M.H., Sekjen BAP JOMA, tak membawa surat kuasa. Ia membawa harapan. “Kita sangat prihatin dengan mereka yang terdampar Covid-19, khususnya masyarakat kecil. Walau sedikit mungkin nilainya tak seberapa, paling tidak BAP JOMA sudah berpartisipasi,” ujarnya. Dana yang digunakan bukan APBN, bukan CSR, bukan hibah. Murni saweran. Hukum yang mandiri, bukan birokratis.

Liswar Mahdi, S.H., M.H., sang Ketua Umum, menambahkan dengan nada getir, “Pandemi membuat yang susah tambah susah. Menjelang Idul Fitri, makan saja susah.” Di saat hukum sibuk menata regulasi, para advokat ini menata nasi dan masker. Ironis? Mungkin. Mulia? Pasti.

Di negeri yang kadang lebih cepat membuat peraturan daripada membagikan bantuan, aksi BAP JOMA adalah satire yang hidup. Ketika banyak lembaga hukum sibuk dengan webinar dan diskusi daring, mereka memilih jalanan. Ketika bantuan sosial jadi rebutan dan drama politik, mereka memilih saweran. Tak ada konferensi pers, hanya doa dan dus sembako.

Hukum, dalam bentuknya yang paling manusiawi, adalah keberpihakan. Bukan hanya pada yang kuat, tapi pada yang lemah. Bukan hanya pada yang punya legal standing, tapi pada yang punya lapar.

Pandemi Covid-19 bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga ujian moral hukum. Apakah hukum hanya bicara protokol dan sanksi, atau juga bicara kasih dan aksi? BAP JOMA menjawab dengan tindakan. Mereka tak menunggu regulasi, mereka bergerak.

Di tengah dunia yang terengah, di antara pasal dan penderitaan, hukum ternyata bisa turun ke jalan. Ia bisa membagikan masker, bukan hanya pasal. Ia bisa menyentuh pemulung, bukan hanya pejabat.

Dan mungkin, di sanalah hukum paling sehat.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H. Waksekjen II BAP JOMA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar