Jumat, 26 Juni 2020

“Negara, Ego, dan Anak-Anak yang Terluka; Saat Kebijakan Layak Digugat”


JANGKARKEADILAN, JAKARTA –
 Di negeri yang konon dibangun atas cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, kita menyaksikan ironi yang menyakitkan: kebijakan publik yang memaksakan ego penyelenggara negara, tanpa empati, tanpa evaluasi, dan tanpa refleksi.

Anak-anak — generasi yang katanya “harapan bangsa” — justru menjadi korban dari kebijakan yang tergesa, serampangan, dan kadang absurd.

Mereka dipaksa belajar tanpa ruang bermain, diuji tanpa diajak berpikir, dan dibentuk tanpa diberi waktu tumbuh.

Kebijakan pendidikan yang berubah-ubah, kurikulum yang dipaksakan, dan sistem evaluasi yang menekan, telah menciptakan generasi yang cemas, lelah, dan kehilangan makna belajar.

Anak-anak bukan robot birokrasi. Mereka bukan angka dalam grafik capaian kementerian.

Psikologi mereka bukan sekadar statistik. Ia adalah luka yang tak terlihat, tapi nyata.
Dan ketika negara gagal melindungi anak-anak dari kebijakan yang menyakiti, maka hukum harus bicara.

Sudah saatnya kebijakan publik yang merusak tumbuh kembang anak digugat ke pengadilan.
Bukan karena kita membenci negara, tapi karena kita mencintai masa depan.

Negara yang sehat adalah negara yang bisa dikritik.
Negara yang adil adalah negara yang bisa digugat.

Saya akan datang.
Sambutlah, rekan-rekanku penegak hukum yang bekerja di lembaga peradilan.
Karena keadilan bukan hanya milik orang dewasa. Ia juga milik anak-anak yang belum bisa bersuara.

Izinkan saya mengutip Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM);“Fiat justitia ruat caelum” — Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.

Jika langit harus runtuh demi membela anak-anak dari kebijakan yang melukai, maka biarlah ia runtuh.
Karena hukum bukan hanya tentang pasal, tapi tentang keberanian untuk berkata: “Cukup sudah.”

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar