![]() |
Anak-anak — generasi yang katanya “harapan bangsa” — justru menjadi korban
dari kebijakan yang tergesa, serampangan, dan kadang absurd.
Mereka dipaksa belajar tanpa ruang bermain, diuji tanpa diajak berpikir, dan
dibentuk tanpa diberi waktu tumbuh.
Kebijakan pendidikan yang berubah-ubah, kurikulum yang dipaksakan, dan
sistem evaluasi yang menekan, telah menciptakan generasi yang cemas, lelah, dan
kehilangan makna belajar.
Anak-anak bukan robot birokrasi. Mereka bukan angka dalam grafik capaian
kementerian.
Psikologi mereka bukan sekadar statistik. Ia adalah luka yang tak terlihat,
tapi nyata.
Dan ketika negara gagal melindungi anak-anak dari kebijakan yang menyakiti,
maka hukum harus bicara.
Sudah saatnya kebijakan publik yang merusak tumbuh kembang anak digugat ke pengadilan.
Bukan karena kita membenci negara, tapi karena kita mencintai masa depan.
Negara yang sehat adalah negara yang bisa dikritik.
Negara yang adil adalah negara yang bisa digugat.
Saya akan datang.
Sambutlah, rekan-rekanku penegak hukum yang bekerja di lembaga peradilan.
Karena keadilan bukan hanya milik orang dewasa. Ia juga milik anak-anak yang
belum bisa bersuara.
Izinkan saya mengutip Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM);“Fiat
justitia ruat caelum” — Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit
akan runtuh.
Jika langit harus runtuh demi membela anak-anak dari kebijakan yang melukai,
maka biarlah ia runtuh.
Karena hukum bukan hanya tentang pasal, tapi tentang keberanian untuk berkata: “Cukup
sudah.”
Adv.
Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar