“Solusinya adalah penghayatan Pancasila,” katanya.
Tapi benarkah Pancasila cukup sebagai penangkal ideologi ekstrem?
Pancasila, sang dasar negara, sering dipuja dalam upacara dan dihafal dalam
lomba cerdas cermat. Tapi di ruang kelas dan grup WhatsApp mahasiswa, ia sering
kalah oleh narasi yang lebih tegas, lebih hitam-putih, dan lebih menjanjikan
surga.
Peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Ja’far, menyindir:
“Kalau kamu merundung teman yang berbeda agama atau etnis, kamu bukan
Pancasilais.”
Maka pertanyaannya: apakah kita sedang membesarkan generasi yang hafal sila,
tapi lupa makna?
Survei Wahid Foundation tahun 2017 mengungkap bahwa 60% peserta kegiatan
rohis siap berjihad dengan kekerasan. Ironisnya, kegiatan ini
diselenggarakan oleh Kementerian Agama.
Lebih dari 70% aktivis rohis menyetujui wacana Indonesia menjadi negara Islam.
Di mana letak pengawasan?
Ataukah kita terlalu sibuk mengatur kurikulum, hingga lupa mengatur nurani?
BIN menyebar kuisioner ke kampus-kampus, menanyakan soal ISIS dan konflik
Suriah. Hasilnya: 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar setuju jihad kekerasan.
Angka ini nyaris identik dengan survei masyarakat sipil.
Apakah ini kebetulan, atau cerminan bahwa radikalisme bukan lagi bayangan,
tapi wajah yang kita kenal?
Penyuluhan Pancasila bukanlah vaksin instan. Tanpa program deradikalisasi
yang berkelanjutan, nilai-nilai kebangsaan akan menjadi slogan kosong — seperti
masa Orde Baru, ketika Pancasila dijadikan alat, bukan arah.
“Kami ingin mereka kembali ke ibu pertiwi,” kata BIN.
Tapi ibu pertiwi tak cukup hanya memanggil — ia harus merangkul.
Radikalisme di kampus bukan sekadar isu keamanan — ia adalah krisis
identitas.
Hukum harus hadir bukan hanya sebagai palu, tapi sebagai pelita.
Pendidikan harus membentuk karakter, bukan hanya mencetak ijazah.
Dan Pancasila harus hidup — bukan di spanduk, tapi di sikap.
Karena jika kita gagal menanamkan nilai, maka kita hanya akan menuai slogan.
Adv. Darius
Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar