Jumat, 26 Juni 2020

“Kupon Beras dan Dagangan yang Tak Laku: Ketika Negara Diam, Rakyat Menjerit”


JANGKARKEADILAN, JAKARTA –
 Di sudut pasar yang tak lagi ramai, seorang laki-laki berdiri sejak pagi. Barang dagangannya tersusun rapi, tapi tak satu pun berpindah tangan.

Pandemi telah merampas bukan hanya kesehatan, tapi juga harapan.

Ia bukan pemalas. Ia bukan pengemis. Ia hanya sedang kalah oleh keadaan.

Lalu datanglah seorang petugas RT, dengan kupon di tangan dan kalimat yang menyayat:

“Mau gak kupon untuk ambil beras? Gak banyak sih. Paling empat atau lima liter.”

Lucu, katanya. Tapi tak ada yang lucu dari kalimat yang merendahkan.

Pak RT, kalau mau memberi, berilah. Jangan bertanya seolah beras itu milik pribadi.
Itu bukan beras anda. Itu beras negara. Itu beras rakyat.

Bantuan sosial bukan sedekah. Ia adalah hak warga negara yang taat pada protokol, yang berdiam diri demi keselamatan bersama.
Dan ketika hak itu dipermainkan dengan bahasa yang merendahkan, maka hukum harus bicara.

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.”
Maka pertanyaannya: apakah kupon empat liter beras itu layak?

Ketika penyelenggara negara memaksakan ego, ketika bantuan dikemas dengan nada sinis, dan ketika rakyat dipaksa diam dalam lapar, maka hukum tak boleh ikut diam.

Negara yang adil bukan yang memberi banyak, tapi yang memberi dengan hormat.

Saya akan datang.
Sambutlah, rekan-rekanku penegak hukum yang bekerja di lembaga peradilan.
Karena keadilan bukan hanya soal pasal, tapi soal keberanian untuk menggugat ketidakadilan yang dibungkus birokrasi.

“Fiat justitia ruat caelum” — Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar