Rabu, 17 Juni 2020

RUU HIP; Ketika Pancasila Diberi Jalur, Tapi Belum Punya Kompas

Pancasila adalah dasar Negara, dasar filosofi Negara, ideologi Negara, cita hukum Negara dan sumber dari segala sumber hukum Negara. 
JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Pada 12 Mei 2020, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sebagai RUU inisiatif. Masuk dalam daftar prioritas Prolegnas 2020, RUU ini digadang-gadang sebagai jawaban atas kegamangan arah pembangunan nasional.

Namun, seperti kapal yang diberi layar tanpa peta, pertanyaannya: apakah RUU ini benar-benar akan membawa bangsa ke tujuan bernegara, atau hanya berputar-putar dalam retorika?

DPP GMNI menyebut Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, cita hukum, dan sumber dari segala sumber hukum. Tapi selama ini, Pancasila lebih sering menjadi jargon daripada pedoman.

Ia dikutip dalam pidato, tapi jarang hadir dalam kebijakan.
Ia diajarkan di sekolah, tapi tak dijalankan di birokrasi.

RUU HIP, menurut Ketua Umum GMNI Imanuel Cahyadi, adalah upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai haluan konkret dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan nasional.

“Tanpa haluan, kita hanya berjalan tanpa arah,” katanya.

RUU HIP lahir di tengah badai ideologi: liberalisme, individualisme, radikalisme agama, intoleransi, politik identitas, dan bahkan bayang-bayang komunisme.

Semua ini bertentangan dengan jiwa Pancasila — yang mestinya menjadi pelindung, bukan sekadar poster.

Tapi apakah RUU HIP cukup kuat untuk melawan arus zaman?
Ataukah ia hanya akan menjadi dokumen yang indah di rak, tapi tak berguna di lapangan?

Secara hukum, RUU HIP berpotensi menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan publik berakar pada nilai-nilai Pancasila. Tapi tantangannya bukan hanya legal-formal, melainkan politis dan filosofis.

Apakah kita siap menjadikan Pancasila sebagai alat ukur kebijakan, bukan sekadar alat legitimasi?

RUU HIP adalah peluang. Tapi peluang tanpa komitmen hanya akan menjadi ilusi.
Pancasila harus diturunkan ke dalam tindakan, bukan hanya diangkat dalam pidato.
Ia harus menjadi kompas, bukan sekadar lambang.

Karena bangsa yang besar bukan hanya yang punya ideologi, tapi yang mampu menjadikannya hidup dalam setiap keputusan.

Saya bisa bantu ubah artikel ini menjadi skrip video pendek atau carousel Instagram agar lebih menggugah dan mudah disebarkan ke publik yang lebih luas.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar