Jumat, 12 Juni 2020

Ketika Nurani Mengetuk Istana: Seruan Lintas Agama untuk KPK dan Polri


JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di tengah kemelut antara dua lembaga penegak hukum—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)—suara-suara dari langit spiritual turun ke bumi hukum. Para tokoh lintas agama, dari Buddha hingga Islam, dari Konghucu hingga Protestan, bersatu dalam satu seruan: “Presiden, jangan ragu.”

Bukan sekadar doa, ini adalah desakan moral. Mereka mengetuk pintu nurani Presiden Jokowi, meminta langkah tegas, cepat, dan konstitusional untuk mengakhiri perselisihan yang menggerogoti kepercayaan publik.

Nama-nama besar hadir dalam pernyataan ini: KH. Said Aqil Siroj, Romo Johanes Haryanto SJ, HS. Dillon, Pendeta Albertus Patti, Uung Sendana, Piandi, Yanto Jaya, Ulil Abshar Abdalla, Zafrullah Pontoh, dan lainnya. Mereka bukan sekadar pemuka agama, tapi penjaga moral bangsa.

Mereka menyerukan agar pemerintah mengedepankan kebenaran dan keadilan. Karena hanya pemimpin yang jujur dan amanah yang bisa membawa bangsa ini keluar dari lumpur korupsi dan konflik.

Kemelut antara KPK dan Polri bukan hal baru. Tapi ketika lembaga penegak hukum saling curiga, saling tuding, bahkan saling sandera secara politik, maka hukum tak lagi menjadi pelindung—ia berubah menjadi panggung sandiwara.

Para tokoh agama menolak menjadikan KPK dan Polri sebagai alat politik. Mereka mendesak agar kriminalisasi dihentikan, dan kedua lembaga kembali ke fitrahnya: menegakkan hukum, bukan menegakkan kepentingan.

Di tengah kegaduhan, para pemuka agama menyerukan ketenangan. Mereka meminta rakyat tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Sebuah ajakan yang puitis: jangan biarkan badai politik merusak ladang harapan.

Tugas negara, kata mereka, adalah menjaga nilai-nilai luhur agama dan memajukan kemaslahatan rakyat. Bukan memelihara konflik, apalagi membiarkan hukum dipermainkan.

Sebagai advokat, saya melihat seruan ini bukan sekadar pernyataan moral, tapi juga pengingat konstitusional. Bahwa hukum harus berdiri di atas keadilan, bukan di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Presiden harus bertindak. Bukan sebagai politisi, tapi sebagai kepala negara yang bertanggung jawab atas integritas hukum dan keselamatan bangsa.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar