![]() |
Bukan sekadar doa, ini adalah desakan moral. Mereka mengetuk pintu nurani
Presiden Jokowi, meminta langkah tegas, cepat, dan konstitusional untuk
mengakhiri perselisihan yang menggerogoti kepercayaan publik.
Nama-nama besar hadir dalam pernyataan ini: KH. Said Aqil Siroj, Romo
Johanes Haryanto SJ, HS. Dillon, Pendeta Albertus Patti, Uung Sendana, Piandi,
Yanto Jaya, Ulil Abshar Abdalla, Zafrullah Pontoh, dan lainnya. Mereka bukan
sekadar pemuka agama, tapi penjaga moral bangsa.
Mereka menyerukan agar pemerintah mengedepankan kebenaran dan keadilan. Karena hanya pemimpin yang jujur dan amanah yang bisa membawa bangsa ini keluar dari lumpur korupsi dan konflik.
Kemelut antara KPK dan Polri bukan hal baru. Tapi ketika lembaga penegak
hukum saling curiga, saling tuding, bahkan saling sandera secara politik, maka
hukum tak lagi menjadi pelindung—ia berubah menjadi panggung sandiwara.
Para tokoh agama menolak menjadikan KPK dan Polri sebagai alat politik.
Mereka mendesak agar kriminalisasi dihentikan, dan kedua lembaga kembali ke
fitrahnya: menegakkan hukum, bukan menegakkan kepentingan.
Di tengah kegaduhan, para pemuka agama menyerukan ketenangan. Mereka meminta
rakyat tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Sebuah ajakan yang puitis:
jangan biarkan badai politik merusak ladang harapan.
Tugas negara, kata mereka, adalah menjaga nilai-nilai luhur agama dan
memajukan kemaslahatan rakyat. Bukan memelihara konflik, apalagi membiarkan
hukum dipermainkan.
Sebagai advokat, saya melihat seruan ini bukan sekadar pernyataan moral,
tapi juga pengingat konstitusional. Bahwa hukum harus berdiri di atas keadilan,
bukan di bawah bayang-bayang kekuasaan.
Presiden harus bertindak. Bukan sebagai politisi, tapi sebagai kepala negara
yang bertanggung jawab atas integritas hukum dan keselamatan bangsa.
Adv. Darius Leka,
S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar