![]() |
| Romo Carolus menyampaikan pidato saat menerima Maarif Award di Jakarta |
Setiap Rabu minggu ketiga, Romo Carolus menyambangi Lapas Super Maximum
Security Pasir Putih. Ia mempersembahkan Ekaristi di hadapan para narapidana
kasus narkoba, sebagian besar divonis mati. “Menunggu hukuman mati
bertahun-tahun adalah siksaan,” katanya. Ia menyaksikan sendiri dua eksekusi
yang berlangsung delapan menit tanpa kematian. Hukum yang katanya adil,
ternyata bisa begitu kejam dalam praktiknya.
Vonis mati, menurut Romo Carolus, bukanlah keadilan. Ia adalah bentuk penyiksaan yang dilegalkan. Di sini, hukum tak lagi menjadi pelindung, tapi algojo yang berseragam.
Tak hanya melayani rohani, Romo Carolus juga merawat bumi. Ia menghijaukan
Nusakambangan, pulau yang rusak karena penjarahan. Ketika pemerintah hanya
memberi izin kepada mereka yang mampu membeli bibit albisia, Romo Carolus turun
tangan. Ia bantu 50 keluarga miskin agar bisa menanam pohon. Karena baginya,
hutan hanya bisa aman jika masyarakat dilibatkan dan diberdayakan.
Ketika Kakanwil Kemenkumham hendak menutup total akses ke pulau, Romo
Carolus berangkat ke Semarang. Ia bicara tentang kemiskinan, tentang harapan,
tentang pohon. Dan ia menang. Ia dipercaya menghijaukan kembali Nusakambangan.
Lewat yayasan YSBS, Romo Carolus memberi ternak, beasiswa, dan program Food
for Work. Bantuan bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk kemandirian.
Sekolah yang ia dirikan bahkan mengajarkan pelajaran agama Islam kepada siswa
Muslim. Siswi berjilbab? Banyak. “Saya tidak ingin membaptis siapa pun. Saya
sendiri baru merasa 20 persen Katolik,” ujarnya.
Ketulusan itu mengikis kecurigaan. Bahkan FPI Cilacap mendukung kegiatannya.
“Romo Carolus sangat menyentuh kami,” kata Ketua DPW FPI Cilacap. Ketika
seorang pastor Katolik dihormati oleh ormas Islam, maka hukum toleransi telah
menemukan bentuknya yang paling indah.
Ahmad Syafii Maarif memberikan penghargaan Maarif Awards kepada Romo
Carolus. “Dimensi kemanusiaannya jauh lebih dalam. Seorang FPI saja hormat
kepada dia,” kata Buya Syafii. Penghargaan ini bukan sekadar simbol. Ia adalah
bukti bahwa hukum bisa berpihak pada kemanusiaan, bukan hanya pada pasal.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus menyentuh manusia, bukan
hanya mengatur perilaku. Romo Carolus menunjukkan bahwa keadilan bukan soal
vonis, tapi soal keberpihakan pada yang lemah. Bahwa penjara bukan tempat
menghukum, tapi tempat merehabilitasi.
Jika hukum tak mampu menumbuhkan harapan seperti pohon-pohon albisia di Nusakambangan, maka hukum itu perlu direvisi. Karena hukum yang baik adalah hukum yang bisa membuat manusia menjadi lebih baik.
Adv. Darius Leka,
S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar