![]() |
“Jangan sampai RUU PUB nanti hanya jadi topeng hukum untuk diskriminasi,”
ujar Maman. Ia berharap RUU ini mampu menjelaskan secara terang benderang: apa
itu perlindungan, siapa yang dilindungi, dan bagaimana standar penanganan
terhadap semua kelompok agama dan kepercayaan.
UU Nomor 1/PNPS/1965 sudah lama menjadi batu sandungan dalam demokrasi kita.
Pada 2010, sejumlah LSM menggugat undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka menilai pasal-pasalnya diskriminatif, bertentangan dengan prinsip
toleransi, dan membatasi kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945.
Pasal-pasal yang digugat—Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 3, dan
Pasal 4—dinilai bertabrakan dengan Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945. Tapi
gugatan itu kandas. Negara memilih stabilitas daripada kebebasan. Sebuah
pilihan yang, meski sah secara hukum, tetap menyisakan pertanyaan etis.
Menteri Agama kala itu, Suryadharma Ali, menolak pencabutan UU 1/PNPS/1965. Alasannya? Bisa menimbulkan keresahan dan disintegrasi bangsa. “Tanpa UU ini, orang bisa bebas menodai agama,” katanya. Sebuah argumen yang mengandung paradoks: demi menjaga harmoni, kita membungkam ekspresi.
Menteri Hukum dan HAM saat itu, Patrialis Akbar, turut bersuara. Menurutnya,
menghapus UU tersebut sama saja dengan menginginkan kebebasan yang
sebebas-bebasnya. Ia lupa, mungkin, bahwa kebebasan yang dibatasi tanpa
kejelasan bisa berubah menjadi penindasan.
RUU PUB seharusnya menjadi jawaban atas kegagalan UU 1/PNPS/1965. Tapi jika
hanya mengganti kulit tanpa mengubah isi, maka kita sedang mengulang sejarah.
Perlindungan umat beragama bukan soal siapa yang mayoritas, tapi siapa yang
paling rentan.
Hukum tidak boleh menjadi alat untuk membungkam minoritas atas nama harmoni.
Karena harmoni yang dipaksakan adalah simfoni yang palsu.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus berpihak pada keadilan,
bukan pada kenyamanan politik. RUU PUB harus menjamin bahwa setiap warga
negara, apapun keyakinannya, punya hak yang sama untuk hidup aman, beribadah,
dan bersuara.
Jika tidak, maka kita hanya sedang menulis ulang sejarah diskriminasi dengan
tinta yang lebih halus.
Adv. Darius Leka,
S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar