Jumat, 12 Juni 2020

CONFIGERE; Ketika Masyarakat Bertumbuh Lewat Luka


JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Konflik. Kata ini berasal dari bahasa Latin configere—saling memukul. Ironis, bukan? Bahwa dalam setiap denyut kehidupan sosial, kita tak pernah benar-benar lepas dari pukulan. Bukan pukulan fisik semata, tapi pukulan ego, ideologi, dan keyakinan. Pukulan yang kadang menyamar sebagai cinta, kadang menyamar sebagai kebenaran.

Di ruang sosiologis, konflik adalah proses sosial. Dua pihak atau lebih saling beradu, bukan untuk saling memahami, tapi untuk saling menyingkirkan. Dan jangan salah: konflik bukan penyakit. Ia adalah gejala vital dari masyarakat yang hidup. Masyarakat tanpa konflik adalah masyarakat yang sudah mati.

Konflik lahir dari perbedaan. Perbedaan fisik, adat, pengetahuan, keyakinan. Perbedaan yang seharusnya menjadi warna, justru sering menjadi bara. Dan ketika bara itu tak dikelola, ia membakar.

Konflik dan integrasi adalah dua sisi mata uang. Yang satu menghancurkan, yang lain menyatukan. Tapi jangan buru-buru memuja integrasi. Integrasi yang dipaksakan, tanpa ruang bagi perbedaan, justru melahirkan konflik baru.

Bayangkan dua remaja berpacaran. Si pria perokok berat, si wanita anti rokok. Ketika cinta tak cukup kuat menengahi perbedaan, maka cinta pun berasap. Konflik antar individu adalah konflik paling sunyi, tapi paling sering terjadi. Dan hukum? Ia hanya bisa menonton dari kejauhan.

Di Kalimantan, suku Dayak dan Madura pernah berseteru. Bukan karena kebencian, tapi karena ketidaktahuan. Bagi Madura, menebang kayu adalah pekerjaan. Bagi Dayak, hutan adalah tempat suci. Ketika ekonomi bertemu spiritualitas tanpa mediator, maka darah pun tumpah. Hukum adat dan hukum negara saling diam, saling bingung.

Agama adalah keyakinan mutlak. Tidak seperti ilmu pengetahuan yang bisa direvisi, agama menolak pembanding. Maka konflik agama adalah konflik yang paling keras kepala. Dari Irlandia Utara hingga Sampang, dari Protestan hingga Ahmadiyah—semua merasa paling benar, dan siap mati demi itu.

Pemerintah mencoba meredam dengan tiga kerukunan: antar umat, antar agama, dan antara umat dengan negara. Tapi kerukunan yang hanya slogan, tak akan mampu menahan amarah yang dibungkus ayat.

Buruh menuntut upah, perusahaan menolak, pemerintah menjadi penengah. Tapi penengah yang tak punya kuasa, hanya akan menjadi penonton. PHK adalah wujud konflik vertikal. Ketika kelas bawah bersuara, kelas atas menutup telinga. Dan hukum? Ia sering kali berpihak pada yang punya modal.

Apartheid di Afrika Selatan adalah bukti bahwa warna kulit bisa menjadi senjata. Orang kulit hitam dianggap lebih rendah, bukan karena perilaku, tapi karena pigmen. Konflik ras adalah konflik yang menyakitkan, karena ia menolak logika. Ia hanya percaya pada warna.

Dari Perang Dingin hingga Palestina-Israel, konflik antar negara adalah pertarungan ego nasional. Mereka bicara perdamaian di meja konferensi, tapi menyiapkan rudal di belakang layar. Hukum internasional? Ia ada, tapi sering kali tak berdaya.

Konflik adalah keniscayaan. Tapi hukum harus hadir bukan untuk menghukum, melainkan untuk menengahi. Hukum yang adil bukan hukum yang netral, tapi hukum yang berpihak pada kemanusiaan.

Di tengah dunia yang gemar memukul, hukum harus menjadi tangan yang merangkul.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar