![]() |
Diskusi ini bukan sekadar ritual akademik. Ia adalah perlawanan sunyi
terhadap retorika kebencian yang kerap berselimut jubah suci. Di tengah
absennya perwakilan Katolik dan Buddha, lima narasumber dari Islam, Kristen
Protestan, Hindu, Konghucu, dan Penghayat kepercayaan menyuarakan satu nada:
keragaman bukan ancaman, melainkan anugerah.
Sugeng Wibowo membuka diskusi dengan nada lirih namun tegas. “Kejawen bukan
agama,” katanya, “melainkan ajaran universal yang mengedepankan pakerti luhur.”
Di tengah dunia yang gemar mengkotak-kotakkan manusia, Kejawen datang sebagai
pengingat bahwa semesta tidak pernah membenci perbedaan—manusia lah yang melakukannya.
Bedande Wayan dari Parisada Hindu mengangkat sesajen cok bakal sebagai
metafora: rupa-rupa makanan dalam satu wadah, simbol keragaman yang bersatu. Ia
bercerita tentang kunjungannya ke Jerusalem bersama tokoh enam agama. “Pemuka
Muslim Palestina memuji Indonesia karena kerukunan umat beragamanya,” ujarnya.
Ironis, bukan? Di negeri orang kita dipuji, di negeri sendiri kita masih
curiga.
Pendeta Simon Filantropa menyentil tajam: “Masyarakat harus waspada agar konflik elite politik tidak merembet ke akar rumput.” Ia mengajak umat belajar dari Syiah dan Ahmadiyah yang tetap sabar meski terusir dari kampung halaman. “Kita merasa menderita karena tak punya rumah ibadah, padahal ada yang tak punya tanah untuk berpijak,” katanya. Sebuah kritik halus yang menggugah nurani.
Dari Konghucu, Bingky Irawan mengutip Gus Dur: “Agama bisa jadi kedok
politik.” Ia menyindir fenomena tokoh agama yang menjual ayat demi suara. “Yang
halal bisa jadi haram, yang haram bisa jadi halal,” selorohnya. Di negeri ini,
kadang Tuhan pun harus tunduk pada hasil pemilu.
Ali Maschan Moesa dari Nahdliyin mengajak menerapkan kearifan Gus Dur. Ia
bercerita tentang upayanya berdialog dengan Tajul Muluk, tokoh Syiah Sampang.
“Saya sempat difatwa kafir karena membela hak Ahmadiyah,” ungkapnya. Toleransi,
rupanya, bukan hanya soal cinta—ia juga soal keberanian.
Diskusi ini bukan sekadar wacana. Ia adalah refleksi atas kegagalan negara
menjamin hak konstitusional warga untuk beribadah dan hidup aman. Pasal 28E UUD
1945 menjamin kebebasan beragama, namun praktiknya sering kali dibungkam oleh
regulasi lokal, tekanan sosial, dan tafsir sempit.
Ketika rumah ibadah dipersulit, ketika minoritas dibungkam, ketika cinta
kasih dikalahkan oleh ambisi politik—di sanalah hukum harus bicara. Bukan
sebagai palu kekuasaan, tapi sebagai pelindung kemanusiaan.
Adv. Darius Leka,
S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar