Jumat, 12 Juni 2020

Bhinneka di Pregolan; Ketika Agama Bicara Cinta, Politik Menyusup Diam-Diam


JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Selasa pagi, 18 November. Matahari belum sepenuhnya tegak, namun aula Gereja Kristen Indonesia di jalan Pregolan Bunder, Surabaya, sudah dipenuhi wajah-wajah yang membawa harapan. Sekitar 200 orang dari berbagai latar sosial dan religius berkumpul dalam diskusi lintas agama bertajuk: “Membangun Perspektif Lintas Agama dalam Implementasi Kehidupan Bhinneka Tunggal Ika.”

Diskusi ini bukan sekadar ritual akademik. Ia adalah perlawanan sunyi terhadap retorika kebencian yang kerap berselimut jubah suci. Di tengah absennya perwakilan Katolik dan Buddha, lima narasumber dari Islam, Kristen Protestan, Hindu, Konghucu, dan Penghayat kepercayaan menyuarakan satu nada: keragaman bukan ancaman, melainkan anugerah.

Sugeng Wibowo membuka diskusi dengan nada lirih namun tegas. “Kejawen bukan agama,” katanya, “melainkan ajaran universal yang mengedepankan pakerti luhur.” Di tengah dunia yang gemar mengkotak-kotakkan manusia, Kejawen datang sebagai pengingat bahwa semesta tidak pernah membenci perbedaan—manusia lah yang melakukannya.

Bedande Wayan dari Parisada Hindu mengangkat sesajen cok bakal sebagai metafora: rupa-rupa makanan dalam satu wadah, simbol keragaman yang bersatu. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Jerusalem bersama tokoh enam agama. “Pemuka Muslim Palestina memuji Indonesia karena kerukunan umat beragamanya,” ujarnya. Ironis, bukan? Di negeri orang kita dipuji, di negeri sendiri kita masih curiga.

Pendeta Simon Filantropa menyentil tajam: “Masyarakat harus waspada agar konflik elite politik tidak merembet ke akar rumput.” Ia mengajak umat belajar dari Syiah dan Ahmadiyah yang tetap sabar meski terusir dari kampung halaman. “Kita merasa menderita karena tak punya rumah ibadah, padahal ada yang tak punya tanah untuk berpijak,” katanya. Sebuah kritik halus yang menggugah nurani.

Dari Konghucu, Bingky Irawan mengutip Gus Dur: “Agama bisa jadi kedok politik.” Ia menyindir fenomena tokoh agama yang menjual ayat demi suara. “Yang halal bisa jadi haram, yang haram bisa jadi halal,” selorohnya. Di negeri ini, kadang Tuhan pun harus tunduk pada hasil pemilu.

Ali Maschan Moesa dari Nahdliyin mengajak menerapkan kearifan Gus Dur. Ia bercerita tentang upayanya berdialog dengan Tajul Muluk, tokoh Syiah Sampang. “Saya sempat difatwa kafir karena membela hak Ahmadiyah,” ungkapnya. Toleransi, rupanya, bukan hanya soal cinta—ia juga soal keberanian.

Diskusi ini bukan sekadar wacana. Ia adalah refleksi atas kegagalan negara menjamin hak konstitusional warga untuk beribadah dan hidup aman. Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan beragama, namun praktiknya sering kali dibungkam oleh regulasi lokal, tekanan sosial, dan tafsir sempit.

Ketika rumah ibadah dipersulit, ketika minoritas dibungkam, ketika cinta kasih dikalahkan oleh ambisi politik—di sanalah hukum harus bicara. Bukan sebagai palu kekuasaan, tapi sebagai pelindung kemanusiaan.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar