![]() |
Ia menyelinap dalam transaksi gelap, bersembunyi di balik jas rapi, atau bahkan
berseragam.
Kejahatan bukan hanya soal maling ayam. Kadang ia duduk di
kursi empuk, menandatangani proyek fiktif.
Kejahatan bukan monopoli satu bangsa. Ia lintas waktu,
lintas budaya, lintas benua.
Dari zaman batu hingga zaman digital, dari perampokan
bersenjata hingga manipulasi algoritma — bentuknya berubah, tapi wataknya
tetap: melawan hukum dan menampar nurani.
Dalam konteks sosial, kejahatan adalah cermin retak dari
masyarakat. Ia muncul ketika norma dilanggar, ketika hukum dilupakan, dan
ketika keserakahan diberi panggung.
Willem Adriaan Bonger, seorang kriminolog Belanda, menyebut
kejahatan sebagai perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Tapi ia tak
berhenti di sana.
Bonger menyelami lebih dalam: kejahatan adalah tindakan anti-sosial, yang bertentangan dengan kesusilaan, dan layak diberi penderitaan — bukan karena dendam, tapi karena keadilan.
Dengan kata lain, kejahatan bukan hanya soal hukum positif,
tapi juga soal moral publik.
Karena hukum tak selalu hadir di tempat yang gelap.
Karena keadilan kadang kalah cepat dari kekuasaan.
Karena masyarakat kadang lebih sibuk menonton drama daripada membangun etika.
Kejahatan tumbuh subur di tanah yang kering akan keadilan
dan gersang akan empati.
Hukum bukan hanya alat untuk menghukum, tapi juga untuk
mencegah.
Ia harus hidup, hadir, dan berpihak pada yang lemah.
Karena jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,
maka kejahatan akan terus menari di atas panggung impunitas.
Mari kita jaga hukum agar tetap waras.
Mari kita jaga masyarakat agar tetap sadar.
Karena kejahatan tak akan pernah tidur — kecuali kita bangun bersama.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.
Alumni Magister Hukum UTJ – Jakarta

Tidak ada komentar:
Posting Komentar