![]() |
Namanya: Katarina Tawa Owa — Rina, si bungsu yang menjadi pelipur lara keluarga
besar Dominikus Kewa.
Di tengah enam anak laki-laki, Rina adalah bunga yang tumbuh
di antara batu.
Sayangnya, sang ayah berpulang saat Rina baru berusia tiga tahun. Ia tumbuh
tanpa ingatan tentang wajah bapaknya — hanya kata “ghewo” yang berarti “lupa”.
Rina hidup bersama ibu dan para saudaranya.
Pernah lima tahun tinggal di Jakarta, berbagi susah senang bersama sang kakak.
Lalu kembali ke kampung untuk menemani ibu yang menua.
Ia menikah, membangun keluarga, dan menjalani kehidupan
petani — membaca tanda-tanda alam, menanam harapan di ladang.
Awal 2020, kabar datang: Rina sakit.
Saran untuk ke dokter disampaikan, tapi tak ditindaklanjuti.
Ia sempat ke rumah sakit, lalu hilang kontak.
Dirawat ala kadarnya, dengan obat kampung dan harapan yang samar.
Ketika perutnya membesar dan tak bisa buang air, barulah
dibawa ke Puskesmas.
Dirujuk ke RSUD Bajawa, lalu disarankan ke rumah sakit di luar Flores.
Tapi pandemi Covid-19 menjadi alasan untuk menunda — dan nyawa pun ikut
menunggu.
Tanggal 22 Mei 2020, Rina sudah tiga hari tak makan.
Perintah untuk segera ke rumah sakit tak dijalankan.
Tanggal 27 Mei 2020, pukul 07.00 Wib, kabar duka menyebar:
Rina telah berpulang.
Tuhan memanggilnya pulang — mungkin karena manusia terlalu lambat menjaga.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), disebutkan:
Pembiaran terhadap penderitaan fisik dan psikis dalam rumah
tangga adalah bentuk kekerasan.
Pelaku bisa dijatuhi pidana minimal tiga tahun penjara.
Maka pertanyaannya:
Apakah diam itu bentuk kasih, atau bentuk kelalaian?
Apakah menunda itu bentuk cinta, atau bentuk kekerasan yang tersembunyi?
Rina telah pergi.
Ia tak lagi merasakan sakit, tak lagi menunggu pertolongan yang tak datang.
Tapi hukum tak boleh ikut diam.
Karena nyawa manusia bukan angka statistik, bukan cerita yang bisa dilupakan.
Kepada ibu tercinta, ikhlaskanlah.
Kepada Rina, maafkan kami yang belum cukup cepat, belum cukup kuat.
Semoga engkau menjadi pendoa bagi kami — dari surga yang abadi.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.
(Kakakmu tercinta)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar