![]() |
Selasa malam, 28 Oktober 2014, Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP) di Beji Timur, Depok, menjadi panggung bagi Indonesia yang sesungguhnya.
Di tengah gerimis, tari Karo membuka acara deklarasi dan pelantikan pengurus
BASOLIA Kota Depok periode 2014–2019. Tema malam itu: “Berdiri Diatas Semua
Golongan Untuk Mensejahterakan Rakyat.” Sebuah kalimat yang terdengar seperti
utopia, tapi dijalankan dengan nyata.
Dari pembacaan Pancasila, Sumpah Pemuda, hingga penyerahan
sembako, semua berlangsung dalam semangat kebersamaan. Padua suara dari gereja,
marawis dari pesantren, barongsai dari komunitas Tionghoa, semua melebur dalam
satu nada: Indonesia.
KH. Zaenal Abidin, Ketua Umum BASOLIA, menyampaikan bahwa
organisasi ini lahir dari kegelisahan. Dialog teologi antaragama memang indah
di atas panggung elite, tapi tak menyentuh dapur rakyat. Maka BASOLIA memilih
jalan sunyi: membantu tanpa bertanya keyakinan. “Kita bekerja dan bekerja untuk
menghilangkan sekat-sekat perbedaan,” ujarnya.
BASOLIA bukan lembaga pemerintah, bukan partai politik. Ia
adalah hukum yang turun ke jalan, menyapa warga dengan sembako dan pengobatan
massal. Ia adalah hukum yang tak bertanya: “KTP-mu apa?” tapi bertanya: “Kamu
lapar?”
Di tengah dunia yang sibuk membangun rumah ibadat, BASOLIA
membangun rumah harapan. Ketika FKUB fokus pada perizinan, BASOLIA fokus pada
perut. Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke Allo, menegaskan bahwa kedua
organisasi ini tak tumpang tindih. FKUB bicara bangunan, BASOLIA bicara
kehidupan.
Dan barangkali, di sinilah satire itu hidup. Ketika negara sibuk mengatur tata ruang, rakyat sibuk mencari ruang untuk hidup. BASOLIA hadir sebagai jembatan: antara hukum dan hati, antara pasal dan pelukan.
Malam itu, umat dari berbagai agama hadir. Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu. Mereka tak saling menguji iman, tapi
saling menguatkan. Sudirman, warga Beji Timur, menerima sembako dan berkata,
“Alhamdulillah. Saya sangat bersyukur atas kehadiran BASOLIA. Tanpa
membeda-bedakan.”
Dan bukankah itu inti dari hukum yang adil? Hukum yang tak
bertanya nama, tapi bertanya luka. Hukum yang tak menilai dari keyakinan, tapi
dari kebutuhan.
BASOLIA adalah bukti bahwa hukum bisa menyentuh, bukan hanya
mengatur. Ia adalah hukum yang hadir dalam bentuk nasi, bukan naskah. Ia adalah
hukum yang menyapa dengan pelukan, bukan dengan surat edaran.
Di tengah dunia yang sibuk membangun tembok, BASOLIA
membangun jembatan.
Karena hukum yang baik adalah hukum yang bisa menangis bersama rakyatnya.
Adv. Darius Leka, S.H. (Pengurus BASOLIA Kota Depok)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar