Jumat, 12 Juni 2020

BASOLIA; Ketika Hukum Menyapa dengan Pelukan


JANGKARKEADILAN, KOTA DEPOK – Di negeri yang kadang lebih sibuk membahas perbedaan daripada persamaan, BASOLIA hadir sebagai pengingat bahwa kemanusiaan tak punya agama. Sejak dideklarasikan tahun 2007 di Kota Bogor, Badan Sosial Lintas Agama (BASOLIA) bukan sekadar organisasi, tapi gerakan nurani. Ia tak membawa pasal, tapi membawa sembako. Ia tak bicara tafsir, tapi bicara tindakan.

Selasa malam, 28 Oktober 2014, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Beji Timur, Depok, menjadi panggung bagi Indonesia yang sesungguhnya. Di tengah gerimis, tari Karo membuka acara deklarasi dan pelantikan pengurus BASOLIA Kota Depok periode 2014–2019. Tema malam itu: “Berdiri Diatas Semua Golongan Untuk Mensejahterakan Rakyat.” Sebuah kalimat yang terdengar seperti utopia, tapi dijalankan dengan nyata.

Dari pembacaan Pancasila, Sumpah Pemuda, hingga penyerahan sembako, semua berlangsung dalam semangat kebersamaan. Padua suara dari gereja, marawis dari pesantren, barongsai dari komunitas Tionghoa, semua melebur dalam satu nada: Indonesia.

KH. Zaenal Abidin, Ketua Umum BASOLIA, menyampaikan bahwa organisasi ini lahir dari kegelisahan. Dialog teologi antaragama memang indah di atas panggung elite, tapi tak menyentuh dapur rakyat. Maka BASOLIA memilih jalan sunyi: membantu tanpa bertanya keyakinan. “Kita bekerja dan bekerja untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan,” ujarnya.

BASOLIA bukan lembaga pemerintah, bukan partai politik. Ia adalah hukum yang turun ke jalan, menyapa warga dengan sembako dan pengobatan massal. Ia adalah hukum yang tak bertanya: “KTP-mu apa?” tapi bertanya: “Kamu lapar?”

Di tengah dunia yang sibuk membangun rumah ibadat, BASOLIA membangun rumah harapan. Ketika FKUB fokus pada perizinan, BASOLIA fokus pada perut. Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke Allo, menegaskan bahwa kedua organisasi ini tak tumpang tindih. FKUB bicara bangunan, BASOLIA bicara kehidupan.

Dan barangkali, di sinilah satire itu hidup. Ketika negara sibuk mengatur tata ruang, rakyat sibuk mencari ruang untuk hidup. BASOLIA hadir sebagai jembatan: antara hukum dan hati, antara pasal dan pelukan.

Malam itu, umat dari berbagai agama hadir. Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu. Mereka tak saling menguji iman, tapi saling menguatkan. Sudirman, warga Beji Timur, menerima sembako dan berkata, “Alhamdulillah. Saya sangat bersyukur atas kehadiran BASOLIA. Tanpa membeda-bedakan.”

Dan bukankah itu inti dari hukum yang adil? Hukum yang tak bertanya nama, tapi bertanya luka. Hukum yang tak menilai dari keyakinan, tapi dari kebutuhan.

BASOLIA adalah bukti bahwa hukum bisa menyentuh, bukan hanya mengatur. Ia adalah hukum yang hadir dalam bentuk nasi, bukan naskah. Ia adalah hukum yang menyapa dengan pelukan, bukan dengan surat edaran.

Di tengah dunia yang sibuk membangun tembok, BASOLIA membangun jembatan.

Karena hukum yang baik adalah hukum yang bisa menangis bersama rakyatnya.


Adv. Darius Leka, S.H. (Pengurus BASOLIA Kota Depok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar