Jumat, 12 Juni 2020

“Ciliwung; Sungai yang Mengalirkan Harapan dan Hukum”


JANGKARKEADILAN, BOGOR – Di tengah riak air yang tak lagi jernih, Sungai Ciliwung tetap mengalir. Ia membawa cerita, luka, dan harapan. Sabtu, 1 Juni lalu, warga bantaran Ciliwung tak hanya berlomba memulung sampah, tapi juga memulung martabat. Dan Minggu berikutnya, 9 Juni 2013, mereka tak hanya menerima pengobatan gratis, tapi juga pengakuan: bahwa mereka ada, bahwa mereka layak sehat.

Komunitas Peduli Ciliwung Bogor (KPC) dan Badan Sosial Lintas Agama (BASOLIA) bukan datang membawa pasal, tapi membawa petugas medis. Sebanyak 12 dokter dan 30 relawan turun langsung ke Kelurahan Sempur, melayani 1000 warga bantaran sungai. Mereka tak bertanya agama, tak menilai status sosial. Mereka hanya bertanya: “Apa keluhanmu?”

Dan bukankah itu seharusnya menjadi prinsip hukum? Hukum yang tak hanya hadir di ruang sidang, tapi juga di pinggir sungai. Hukum yang tak hanya bicara hak, tapi juga menyentuh luka.

Sungai Ciliwung melewati 12 kelurahan di Kota Bogor. Ia adalah urat nadi budaya dan ekonomi. Tapi ironisnya, ia juga menjadi tempat pembuangan. Plastik, limbah, dan harapan yang tak sempat tumbuh. Masyarakat masih membuang sampah ke sungai, seolah air tak punya hak untuk bersih.

Kebersihan lingkungan adalah soal hukum. Bukan hanya hukum negara, tapi hukum nurani. Ketika air tercemar, tubuh ikut sakit. Ketika sungai dilupakan, masyarakat ikut terpinggirkan.

BASOLIA bukan lembaga negara, bukan partai politik. Ia adalah hukum yang memeluk. Ia sudah berulang kali mengadakan pengobatan massal, sunatan, pernikahan, seminar anti-narkoba, dan advokasi hukum. Ia tak bertanya suku, agama, ras, atau golongan. Ia hanya bertanya: “Apa yang bisa kami bantu?”

Arifin Himawan, Ketua Panitia Baksos, menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari kampanye “Ciliwung Bersih, Masyarakat Sehat.” Dr. Yenny Vandalita menegaskan bahwa kebersihan air erat kaitannya dengan kesehatan. Dan bukankah itu juga erat kaitannya dengan keadilan?

Hukum tak selalu harus berbentuk undang-undang. Kadang ia berbentuk relawan. Kadang ia berbentuk film penyuluhan. Kadang ia berbentuk dokter yang menyeka keringat warga bantaran sungai. Dan kadang, hukum itu mengalir seperti Ciliwung: pelan, tapi pasti.

KPC dan BASOLIA telah menunjukkan bahwa hukum bisa hadir di tempat yang paling kotor sekalipun. Bahwa hukum bisa menyapa dengan senyum, bukan dengan sanksi. Bahwa hukum bisa menjadi jembatan, bukan tembok.

Karena hukum yang baik adalah hukum yang bisa berenang di sungai yang kotor, dan tetap membawa harapan.

 

Adv. Darius Leka, S.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar