Indonesia bukan negara yang hadir karena kebetulan geografis, tapi karena
kesepakatan historis.
Ia lahir dari peluh para pendiri bangsa, dari doa para tokoh
agama, dan dari mimpi para pemimpin organisasi.
Mereka tahu: mengelola keberagaman bukan perkara mudah.
Maka dipilihlah bentuk negara kesatuan — bukan untuk menyeragamkan, tapi untuk
menyatukan.
Dalam bingkai Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, masyarakat
plural bisa hidup berdampingan.
Berbeda-beda, tapi satu tujuan.
Beragam, tapi satu tanah air.
Dan terbukti: selama kita menanggalkan ego sektarian dan
ikatan primordialisme, persaudaraan bisa tumbuh, bukan retak.
Menurut Kun Maryati, primordialisme adalah ikatan sosial
yang dibawa sejak lahir: suku, agama, adat, ras, dan daerah.
Ia bisa menjadi kebanggaan, tapi juga bisa menjadi bom
waktu.
Ketika seseorang terlalu menjunjung tinggi identitasnya, dan
gagal menyesuaikan diri dengan masyarakat multikultur, maka konflik sosial
bukan lagi kemungkinan — tapi keniscayaan.
Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, kita menyaksikan bagaimana
agama dan etnis dijadikan senjata politik.
Rasionalitas dikalahkan oleh fanatisme.
Kedewasaan publik digantikan oleh parade identitas.
Primordialisme yang berlebihan melahirkan etnosentrisme:
“Kelompok saya paling benar.”
“Yang lain salah, sesat, atau asing.”
Dan inilah batu sandungan terbesar bagi kebhinekaan.
Otonomi daerah bukan hanya soal kewenangan hukum, tapi juga
soal tanggung jawab moral.
Daerah diberi hak untuk mengatur, menggali potensi, dan menyelenggarakan
pemerintahan.
Tapi semua itu harus dijalankan dalam semangat Pancasila dan
UUD 1945.
Jika otonomi dijalankan dengan semangat primordialisme, maka
yang tumbuh bukan kemajuan, tapi perpecahan.
Primordialisme tidak bisa dihapus, tapi bisa dikendalikan.
Ia harus diganti dengan paradigma multikultural:
Menghargai perbedaan, bukan mencurigainya.
Merayakan keberagaman, bukan menakutinya.
Dalam kamus Bhinneka Tunggal Ika, tidak ada tempat bagi
fanatisme identitas.
Karena Indonesia bukan milik satu suku, satu agama, atau
satu golongan.
Ia milik semua — yang bersedia hidup bersama, bukan saling menyingkirkan.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar