Rabu, 17 Juni 2020

Primordial Berlebihan Tidak Boleh Ada dalam Kamus Bhinneka Tunggal Ika

Kesatuan bangsa Indonesia dikhawatirkan terancam oleh sifat eklusivisme dan primordialisme. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Dalam sejarah panjang Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau, 1.128 suku bangsa, 1.158 bahasa, dan enam agama sesungguhnya sangat tidak hadir begitu saja, melainkan atas ukiran prestasi dari stakeholder dan/ atau pendiri bangsa (founding fathers) yang di dalamnya terdiri dari para pahlawan, tokoh agama, pemimpin organisasi, dan lain-lain. 

Mereka sadar betul bahwa mengelola kebinekaan tidaklah mudah. Maka diperlukan suatu sistem merawat dan menjaga keragamaan dengan menyepakati pilihan bentuk negara kesatuan yang menjamin keragaman agama, suku, etnis, kultur, bahasa dan dan wilayah (geografis) dalam satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Walhasil, masyarakat sekalipun plural, bisa hidup berdampingan, harmonis, dan sinergis dalam bingkai Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda, tetapi satu tujuan). Dan terbukti mujarab merekatkan tali persaudaraan warga negara yang terdiri dari ragam latarbelakang dengan menanggalkan ego sekterian dan ikatan primordialisme.

Menurut Kun Maryati, pengertian primordialisme adalah ikatan-ikatan seseorang dalam kehidupan sosial yang sangat berpegang teguh terhadap hal-hal yang dibawa sejak lahir baik berupa suku bangsa, kepercayaan, ras, adatistiadat, daerah kelahiran dan lain sebagainya”. (Kun Maryati; 17).

Berdasarkan Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, primordialisme merupakan suatu perasaan-perasaan dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak seorang individu baru dilahirkan. Sikap primordialisme sangat mempengaruhi pola perilaku seorang individu dalam hubungan sosial. Primordialisme dapat menyebabkan seseorang menjunjung tinggi hasil dari kebudayaannya dan memiliki rasa kesetiaan yang sangat tinggi pula. Apabila seseorang tidak bisa menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang multikultur, maka sikap primordialisme akan dapat memicu konflik sosial yang tentunya dapat memecah belah kerukunan antar warga.

Secara sederhana primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya (id.wikipedia.org).

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada didaerah masing-masing. Menurut Hukum Tata Pemerintahan Negara atau Hukum Administrasi Negara, Otonomi Daerah merupakan suatu kewenangan daerah untuk menjalankan pengaturan, penetapan, penyelenggaraan, pengawasan, pertanggung-jawaban Hukum dan Moral dan Penegakan Hukum Administrasi didaerah untuk terciptanya pemerintahan yang taat hukum, jujur, bersih, dan berwibawa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

Sadar atau tidak harus kita akui sejak Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017, agama dan etnis menjadi dua ukuran isu primordialisme justru semakin menguat di berbagai pelosok Tanah Air Indonesia. Masyarakat digiring pada satu kondisi yang dipenuhi dengan luapan kebanggaan terhadap identitas tertentu.

Kontestasi politik yang tidak dilandasi oleh rasionalitas dan kedewasaan elit dan masyarakat justru menimbulkan ruang baru bagi tumbuhnya parade primordialisme dan sekterianisme. Padahal, menguatnya primordialisme ini sangat berbahaya bagi kemajuan bangsa karena dapat mencabik kebhinekaan masyarakat.

Primordialisme yang berlebihan akan melahirkan pola pikir, kelompok atau etnis saya (individu) paling benar. Dampaknya, muncul etnosentrisme, memandang rendah budaya dan adat-istiadat kelompok lain. Belakangan, primordialisme yang berujung etnosentrisme menguat. Ada kecenderungan bangga berlebihan terhadap kesukuan, ras, partai, agama, dan golongan. Ini membahayakan kebhinekaan. Primordialisme-etnosentrisme merupakan batu sandungan, di antaranya masyarakat Indonesia plural.

Untuk itu, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka cara pandang primordialisme dan etnosentrisme harus diubah. Berpikir individual dan fanatik terhadap kelompok atau agama sendiri secara berlebihan harus dimusnahkan dan mengganti dengan paradigma multikultural agar harmoni, persatuan, dan kesatuan tetap terjaga. Jadi, primordial berlebihan tidak boleh ada dalam kamus Bhinneka Tunggal Ika. Dia adalah batu sandungan kebhinekaan.

_________________
Darius Leka, SH

Referensi:
Kun Maryati, dkk, Sosiologi, PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2014
Erond L. Damanik, Politik Lokal: Dinamika Etnisitas pada Era Desentralisasi di Sumatra Utara, Simetri Institute, Sigma Printshop, Yogyakarta, 2018
Fransin Kontu, Primordialisme dalam Pemilihan Kepala Daerah (Kajian Terhadap Sentimen Kesukuan Dalam Pemilukada Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2015), Volume 6 No 02 Tahun 2017, http://ejournal.unmus.ac.id/index.php/societas.
Muhammad Najib, Jakarta, 2017, https://www.koran-jakarta.com/primordialisme-kendala-kebinekaan/
H. Sima, “Harmoni Dalam Kebhinekaan” di gedung Aula Insan Cita (AIC), Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (03/06/17
Agama, Primordialisme dan Kebhinekaan, https://jalandamai.org/agama-primordialisme-dan-kebhinekaan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Primordialisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar