Minggu, 28 Juni 2020

“Hukum Tanpa Hati; Ketika Norma Tak Lagi Bertanya Nurani”

Hans Kelsen, ahli hukum dan filsuf Austria

JANGKARKEADILAN, JAKARTA - Di negeri hukum ini, kita sering mendengar adagium: “Fiat justitia ruat caelum” — tegakkan hukum, walau langit runtuh. Kalimat ini terdengar heroik, bahkan agung. Tapi benarkah hukum harus ditegakkan meski menindas? Apakah hukum adalah mesin dingin yang tak mengenal belas kasih?

Selamat datang di dunia mashab formalistik, sebuah aliran pemikiran hukum yang dipelopori oleh Hans Kelsen dan John Austin — dua nama besar yang percaya bahwa hukum adalah soal bentuk, bukan isi; soal prosedur, bukan nurani.

Hans Kelsen, sang arsitek Pure Theory of Law, percaya bahwa hukum harus steril dari nilai-nilai moral. Baginya, hukum adalah sistem norma yang berdiri sendiri, tak perlu dicampuri oleh etika, agama, atau rasa keadilan. John Austin, jauh sebelumnya, telah menabuh genderang yang sama: hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat, dan tugas rakyat hanyalah taat.

“Jika sudah disahkan, maka berlaku. Jika berlaku, maka laksanakan. Titik.”

Begitulah kira-kira mantra mashab ini. Tak peduli apakah hukum itu adil atau zalim, manusiawi atau kejam — selama ia sah secara prosedural, maka ia wajib ditaati.

Tapi mari kita bertanya: bagaimana jika hukum yang sah itu justru melukai? Bagaimana jika pasal-pasal yang rapi itu menindas minoritas, merampas tanah adat, atau membungkam suara rakyat?

Mashab formalistik akan menjawab: “Itu bukan urusan hukum. Itu urusan politik.”
Dan di sinilah tragedi dimulai: ketika hukum kehilangan hati, dan keadilan kehilangan rumah.

Hukum yang tak peduli pada moral adalah seperti hakim yang tuli di ruang sidang — mendengar tapi tak mendengarkan.

Tentu, kita butuh kepastian hukum. Tanpa itu, negara akan tenggelam dalam kekacauan. Tapi kepastian tanpa keadilan adalah tirani yang dibungkus legalitas. Dan inilah kritik terbesar terhadap mashab formalistik: ia terlalu percaya pada bentuk, hingga lupa pada makna.

Apakah hukum yang membenarkan penindasan tetap layak ditaati hanya karena ia “sah”?

Di tengah dunia yang terus berubah, hukum tak bisa lagi berdiri di menara gading. Ia harus turun ke jalan, mendengar jerit rakyat, dan merasakan denyut nurani. Hukum bukan sekadar teks di lembaran negara — ia adalah janji keadilan yang hidup.

Dan mungkin, sudah saatnya kita bertanya:“Apakah hukum yang baik harus selalu sah? Atau hukum yang sah harus selalu baik?”

 

Advokat Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar