![]() |
| Tokoh filsafat hukum alam dalam zaman Yunani kuno Herakleitos (500 SM) |
Filsafat hukum alam, atau natural law, adalah tiang utama dari
pemikiran Yunani. Ia bukan sekadar teori, tapi napas dari peradaban yang
percaya bahwa hukum bukan ciptaan manusia, melainkan penemuan dari tatanan
kosmik.
Sekitar 500 SM, Herakleitos berdiri di ambang zaman dan bertanya: “Apa
hakekat dari segala yang ada?” Jawabannya bukan pasal-pasal, melainkan
takdir, tatanan, dan akal sehat duniawi.
Ia melihat alam bukan lagi sebagai substansi tunggal, tapi sebagai jaringan
hubungan — sebuah simfoni benda-benda yang saling terikat dalam hukum kodrat.
“Segala sesuatu mengalir,” katanya. Tapi hukum tetap — sebagai arus yang tak
bisa dibendung.
Dari pemikiran Herakleitos lahirlah kaum Sophisten — para cerdik
pandai yang percaya bahwa hukum harus tunduk pada akal, bukan pada kekuasaan.
Mereka mengajarkan bahwa hukum alam adalah fondasi dari semua bidang kehidupan:
politik, etika, bahkan seni.
Namun, di zaman sekarang, kaum cerdik pandai sering digantikan oleh kaum
cerdik licik.
Hukum bukan lagi soal kebenaran, tapi soal siapa yang lebih lihai
menafsirkan pasal.
Sophocles, sang dramawan dan filsuf, menegaskan bahwa hukum alam itu universal, mutlak, dan kekal. Ia berlaku bagi segala bangsa dan masa — tak bisa dibatalkan oleh dekrit, tak bisa diubah oleh mayoritas.
“Tak ada satu bidang kehidupan pun yang luput dari hukum alam,” katanya.
Tapi kini, banyak bidang kehidupan yang luput dari keadilan.
Di tengah hiruk-pikuk regulasi dan revisi undang-undang, kita lupa bahwa
hukum sejatinya bukan hanya soal prosedur, tapi soal prinsip.
Hukum alam mengingatkan kita bahwa keadilan bukan produk politik, tapi
panggilan nurani.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: Apakah hukum yang kita tegakkan
hari ini masih selaras dengan hukum alam?
Atau kita hanya menegakkan pasal, sambil membiarkan keadilan tertidur di kaki
dewa?
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar