![]() |
| Suasana Natal Umat Kristiani Kota Depok 18 Januari 2020 di Gedung Yohanes Paulus II, Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat. Foto: Darius Leka, S.H. |
Etnis bukan sekadar genetik. Ia adalah keputusan sosial, budaya, bahkan
spiritual. Seseorang bisa lahir sebagai bagian dari satu suku, lalu tumbuh dan
memilih menjadi bagian dari komunitas lain. Bahasa, pakaian, tarian, bahkan
senjata tradisional menjadi simbol yang membentuk batas-batas kelompok. Dan
batas itu, seperti pagar rumah adat, kadang dibangun bukan untuk melindungi,
tapi untuk membatasi.
“Kami bukan mereka. Mereka bukan kami.”
Kalimat ini, meski tak tertulis dalam undang-undang, sering lebih kuat dari
pasal-pasal hukum.
Setiap kelompok etnik punya wilayah yang dianggap sakral. Tapi hukum negara
tak mengenal sakralitas budaya. Ia mengenal sertifikat, peta, dan garis
koordinat. Maka konflik pun lahir: antara tanah adat dan izin tambang, antara
rumah nenek dan proyek strategis nasional.
Ketika hukum bicara soal “penguasaan”, etnis bicara soal “penghidupan”.
Ketika negara bicara “kepentingan umum”, suku bicara “kepentingan leluhur”.
Secara normatif, hukum menjamin perlindungan terhadap hak budaya dan identitas. Tapi dalam praktik, hukum sering gagap menghadapi konflik antar-etnis. Apakah pengadilan mampu memahami makna tanah sebagai bagian dari jiwa komunitas? Atau hanya melihatnya sebagai objek sengketa?
Dalam banyak kasus, hukum lebih cepat mengukur luas tanah daripada memahami
kedalaman makna.
Perbedaan identitas kultural tak jarang memicu konflik. Dari perebutan
wilayah hingga diskriminasi sosial. Ironisnya, konflik ini sering dianggap
“masalah lokal” padahal dampaknya nasional. Ketika satu suku merasa
terpinggirkan, maka luka itu bisa menjalar menjadi ketidakpercayaan terhadap
negara.
Dan di sinilah hukum harus hadir bukan sebagai palu pemisah, tapi sebagai
jembatan pemahaman.
Etnisitas adalah puisi yang ditulis oleh sejarah, dituturkan oleh budaya,
dan dijaga oleh hukum. Tapi jika hukum tak mampu membaca puisi itu, maka ia
hanya akan menjadi prosa kekuasaan.
Mari bicara tentang etnis bukan sebagai masalah, tapi sebagai kekayaan. Dan
mari dorong hukum untuk tidak hanya mengatur, tapi juga memahami.
Adv. Darius Leka, S.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar