Minggu, 28 Juni 2020

“Tanah Leluhur, Darah Identitas”; Etnisitas dalam Bayang-Bayang Hukum dan Konflik

Suasana Natal Umat Kristiani Kota Depok 18 Januari 2020 di Gedung Yohanes Paulus II, Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat. Foto: Darius Leka, S.H.

JANGKARKEADILAN, JAKARTA - Di negeri yang katanya Bhineka, kita masih sering lupa bahwa keberagaman bukan sekadar slogan di spanduk kampanye. Ia adalah denyut nadi yang berdesir di antara adat, bahasa, dan aroma dapur nenek moyang. Tapi ketika identitas kultural bertemu dengan klaim wilayah, hukum pun diuji: apakah ia pelindung atau sekadar penonton?

Etnis bukan sekadar genetik. Ia adalah keputusan sosial, budaya, bahkan spiritual. Seseorang bisa lahir sebagai bagian dari satu suku, lalu tumbuh dan memilih menjadi bagian dari komunitas lain. Bahasa, pakaian, tarian, bahkan senjata tradisional menjadi simbol yang membentuk batas-batas kelompok. Dan batas itu, seperti pagar rumah adat, kadang dibangun bukan untuk melindungi, tapi untuk membatasi.

“Kami bukan mereka. Mereka bukan kami.”
Kalimat ini, meski tak tertulis dalam undang-undang, sering lebih kuat dari pasal-pasal hukum.

Setiap kelompok etnik punya wilayah yang dianggap sakral. Tapi hukum negara tak mengenal sakralitas budaya. Ia mengenal sertifikat, peta, dan garis koordinat. Maka konflik pun lahir: antara tanah adat dan izin tambang, antara rumah nenek dan proyek strategis nasional.

Ketika hukum bicara soal “penguasaan”, etnis bicara soal “penghidupan”.
Ketika negara bicara “kepentingan umum”, suku bicara “kepentingan leluhur”.

Secara normatif, hukum menjamin perlindungan terhadap hak budaya dan identitas. Tapi dalam praktik, hukum sering gagap menghadapi konflik antar-etnis. Apakah pengadilan mampu memahami makna tanah sebagai bagian dari jiwa komunitas? Atau hanya melihatnya sebagai objek sengketa?

Dalam banyak kasus, hukum lebih cepat mengukur luas tanah daripada memahami kedalaman makna.

Perbedaan identitas kultural tak jarang memicu konflik. Dari perebutan wilayah hingga diskriminasi sosial. Ironisnya, konflik ini sering dianggap “masalah lokal” padahal dampaknya nasional. Ketika satu suku merasa terpinggirkan, maka luka itu bisa menjalar menjadi ketidakpercayaan terhadap negara.

Dan di sinilah hukum harus hadir bukan sebagai palu pemisah, tapi sebagai jembatan pemahaman.

Etnisitas adalah puisi yang ditulis oleh sejarah, dituturkan oleh budaya, dan dijaga oleh hukum. Tapi jika hukum tak mampu membaca puisi itu, maka ia hanya akan menjadi prosa kekuasaan.

Mari bicara tentang etnis bukan sebagai masalah, tapi sebagai kekayaan. Dan mari dorong hukum untuk tidak hanya mengatur, tapi juga memahami.

 

Adv. Darius Leka, S.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar