Minggu, 28 Juni 2020

Fanatisme; Ketika Keyakinan Menjadi Bara


JANGKARKEADILAN, JAKARTA - Di negeri yang katanya menjunjung tinggi toleransi, fanatisme tumbuh seperti ilalang di musim kemarau—liar, cepat, dan mudah terbakar. Ia bukan sekadar keyakinan, tapi hasrat yang membutakan. Ia bukan sekadar pandangan, tapi dogma yang menolak logika.

Fanatik, kata yang dulu berarti antusiasme religius, kini menjelma menjadi monster sosial: memecah, membakar, dan menghasut. Ia tidak berdiri di atas teori, tidak berpijak pada kenyataan, tapi ia diyakini seolah wahyu. Dan ketika keyakinan tak lagi bisa diuji, maka hukum pun diuji oleh perilaku yang tak terkendali.

Fanatisme adalah kesombongan emosional yang dibungkus dalam jubah kebenaran tunggal. Ia menolak pluralitas, menolak diskusi, menolak perbedaan. Dalam ruang publik, ia berteriak paling keras, tapi menolak mendengar. Dalam ruang hukum, ia menjadi ancaman laten: menghasut, memprovokasi, bahkan menyerang.

Hukum pidana mengenal pasal-pasal tentang ujaran kebencian, penghasutan, dan penodaan agama. Tapi fanatisme sering kali bersembunyi di balik dalil suci, menyusup dalam ceramah, status media sosial, bahkan dalam obrolan warung kopi. Ia tidak selalu melanggar hukum secara eksplisit, tapi ia merusak fondasi sosial secara sistematis.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE melarang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Pasal 156a KUHP mengatur tentang penodaan agama. Tapi apakah cukup?

Fanatisme tidak takut pada pasal. Ia takut pada kesadaran. Ia takut pada pendidikan. Ia takut pada dialog. Maka hukum harus lebih dari sekadar teks. Ia harus menjadi ruang edukatif, bukan hanya represif.

Fanatisme hari ini tidak hanya berkhotbah di mimbar, tapi juga berkicau di Twitter, berkomentar di Facebook, dan menyebar di grup WhatsApp. Ia viral, ia digital, ia lintas platform. Dan hukum harus mengejarnya ke sana.

Penegakan hukum terhadap ujaran kebencian berbasis fanatisme harus dilakukan secara adil, tidak tebang pilih, dan tidak tunduk pada tekanan massa. Karena jika hukum tunduk pada fanatik, maka negara pun akan kehilangan akal sehatnya.

Fanatik berkata: “Kami benar, kalian sesat.”
Fanatik berteriak: “Kami suci, kalian najis.”
Fanatik menulis: “Kami berjuang, kalian menyerang.”
Dan hukum pun terdiam, menunggu laporan, menunggu bukti, menunggu keberanian.

Padahal, dalam sunyi, masyarakat sudah retak. Dalam diam, kebencian sudah membusuk.

Fanatisme bukan musuh agama. Ia adalah musuh akal sehat. Ia bukan musuh hukum. Ia adalah musuh kemanusiaan. Maka mari kita lawan bukan dengan kebencian, tapi dengan pendidikan. Bukan dengan amarah, tapi dengan kesadaran.

Karena hukum yang baik bukan hanya menghukum, tapi juga menyembuhkan.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar