Minggu, 28 Juni 2020

“Pendidikan Kita: Antara Undang-Undang, Utopia, dan Ujian Nurani”


JANGKARKEADILAN, JAKARTA - 
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana… Tapi kadang yang sadar justru tak merencanakan, dan yang merencanakan tak sepenuhnya sadar.”

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) adalah kitab suci pendidikan kita. Di dalamnya tertulis indah: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya—spiritual, intelektual, akhlak, dan keterampilan. Tapi di lapangan, kadang yang terjadi justru sebaliknya: suasana gaduh, potensi terhambat, dan kebijakan yang lebih mirip eksperimen sosial.

UU Sisdiknas menegaskan bahwa pendidikan nasional harus berakar pada Pancasila, UUD 1945, nilai agama, dan kebudayaan nasional. Tapi juga harus tanggap terhadap tuntutan zaman. Maka pendidikan kita seharusnya bukan hanya soal hafalan, tapi juga keberanian berpikir. Bukan hanya soal nilai rapor, tapi juga nilai hidup.

Namun, ketika kebijakan regrouping sekolah dilakukan tanpa kajian mendalam, tanpa musyawarah, tanpa mendengar suara guru dan masyarakat, kita patut bertanya: apakah ini masih pendidikan yang berakar pada nilai kebudayaan, atau sudah menjadi proyek birokrasi yang kehilangan ruh?

SK Mendagri No. 421.2/2501/Bangda/1998 menyebut regrouping sebagai solusi atas kekurangan guru dan efisiensi biaya. Tapi di lapangan, penggabungan sekolah sering menimbulkan konflik: budaya sekolah yang berbeda, kurikulum yang tak sinkron, organisasi yang limbung, dan masyarakat yang kebingungan.

Surat keputusan sudah terbit, tapi sosialisasi belum menyentuh akar rumput. Maka jangan heran jika regrouping lebih mirip kawin paksa antar institusi yang belum saling kenal.

“Pendidikan bukan hanya soal gedung dan guru. Tapi juga soal jiwa yang tumbuh di antara tembok dan papan tulis.”

Pasal 5 UU Sisdiknas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bermutu. Termasuk mereka yang memiliki kelainan fisik, emosional, intelektual, atau sosial. Termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil. Termasuk mereka yang berbakat istimewa.

Tapi apakah hak itu benar-benar dijamin? Atau hanya menjadi jargon kampanye “Pendidikan Gratis” yang tak gratis sepenuhnya?

Pasal 46 UU Sisdiknas menyebut pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama: pemerintah, daerah, dan masyarakat. Tapi realitanya, anggaran pendidikan kita hanya sekitar 1,3% dari PDB. Bandingkan dengan negara maju yang mengalokasikan 5–8%.

Pendidikan gratis bukan sekadar membebaskan biaya. Tapi juga memastikan kurikulum jelas, proses belajar berkualitas, dan fasilitas memadai. Buku, laboratorium, komputer, guru yang sejahtera—semua itu bukan bonus, tapi hak.

“Gratis bukan berarti murahan. Dan pendidikan bukan sekadar angka APBD, tapi investasi masa depan bangsa.”

Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan. Terlalu banyak mata pelajaran, terlalu sedikit pemahaman. Guru dituntut kompet. Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Ketua Komite SDN Pancoran Mas 2 Kota Depok)

#pendidikansadardanterencana #kebijakantanpakajian #pendidikanadalahhak #kurikulumuntukmanusi #jangkarkeadilan #foryou #fyp #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar