Senin, 29 Juni 2020

“Kebenaran Tak Butuh Gengsi; Saat Hans Kelsen dan John Austin Mengetuk Pintu Kekuasaan”


JANGKARKEADILAN, JAKARTA - 
“Jangan malu bila salah. Yang memalukan adalah terus merasa benar dalam kekeliruan yang disengaja.”

Di negeri yang gemar menyulap kesalahan menjadi kebijakan, kritik sering dianggap serangan, koreksi dianggap penghinaan. Padahal, dalam dunia hukum, justru dari koreksi itulah keadilan tumbuh. Dan dua nama besar dalam teori hukum—Hans Kelsen dan John Austin—sebenarnya sudah lama menawarkan cermin bagi para penguasa. Sayangnya, cermin itu sering ditutup tirai ego.

Hans Kelsen, sang arsitek teori hukum murni, percaya bahwa hukum adalah sistem norma yang tersusun secara hierarkis. Dari norma dasar (Grundnorm) hingga peraturan teknis, semuanya harus taat asas. Tidak boleh ada pasal yang melompat-lompat seperti badut sirkus di tengah sidang paripurna.

Bagi Kelsen, hukum bukan soal siapa yang berkuasa, tapi bagaimana kekuasaan itu dibatasi oleh norma. Maka jika ada legislator yang membuat undang-undang hanya demi kepentingan kelompok, atau eksekutif yang menabrak hukum demi “stabilitas,” itu bukan pelaksanaan hukum—itu pelanggaran yang dibungkus legalitas.

John Austin, dengan pendekatan positivistiknya, menyebut hukum sebagai “perintah dari yang berdaulat kepada rakyat, dengan ancaman sanksi.” Tapi jangan salah tafsir. Austin bukan sedang memberi cek kosong kepada penguasa. Justru ia ingin menegaskan bahwa hukum harus jelas, tegas, dan bisa dipertanggungjawabkan. Bukan sekadar “aturan rasa-rasa” yang berubah tergantung siapa yang duduk di kursi kekuasaan.

Kalau hukum adalah perintah, maka penguasa harus tahu: perintah yang salah bisa jadi bumerang. Karena rakyat bukan lagi massa diam. Mereka bisa membaca, menulis, dan—lebih penting—mengingat.

Baik Kelsen maupun Austin sama-sama menekankan pentingnya struktur dan kepatuhan terhadap bentuk. Inilah yang disebut pendekatan formalistik. Tapi jangan salah sangka. Formalistik bukan berarti kaku. Justru di situlah letak keindahannya: hukum menjadi sistem yang bisa diuji, dikritisi, dan diperbaiki.

Sayangnya, di negeri ini, formalitas sering dijadikan tameng. Undang-undang disahkan tanpa naskah akademik yang matang. Peraturan dibuat tanpa partisipasi publik. Lalu ketika dikritik, jawabannya: “Sudah sesuai prosedur.” Padahal prosedur tanpa substansi adalah seperti tubuh tanpa jiwa—hidup, tapi tak bernyawa.

Dalam dunia hukum, koreksi adalah vitamin. Ia pahit, tapi menyembuhkan. Maka ketika publik bersuara, jangan buru-buru menuduh makar. Ketika akademisi mengkritik, jangan langsung dicap subversif. Karena dalam demokrasi, yang paling berbahaya bukanlah kritik, tapi kekuasaan yang tuli.

Jangan malu bila salah. Jangan gengsi bila ditegur. Karena yang sejati bukan penguasa yang tak pernah salah, tapi yang berani mengakui dan memperbaiki.

Hans Kelsen mengajarkan kita tentang struktur. John Austin mengingatkan kita tentang otoritas. Tapi keduanya sepakat: hukum harus rasional, bukan emosional. Harus bisa diuji, bukan sekadar diyakini.

Dan kita, sebagai bangsa, harus belajar menelan pahitnya koreksi. Karena dari pahitnya itulah, kita bisa tumbuh. Karena hukum bukan soal kesempurnaan, tapi soal keberanian untuk terus berbenah.

“Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Tapi kejujuran untuk memperbaiki diri, itu milik manusia yang tangguh.”

Salam tangguh. (Adv. Darius Leka, S.H., M.H. - Ketua Komite Pembelaan Profesi DPC PERADI SAI Jakarta Barat)

#beranikoreksi #kritikbukanmakar #kritikadalahvitamin #austindanarahhukum #jangkarkeadilan #foryou #fyp #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar