Senin, 29 Juni 2020

POLRI; Di Antara Seragam, Sistem, dan Simpang Jalan Konstitusi


JANGKARKEADILAN, JAKARTA - 
“Kalau kau belajar hukum, jangan cuma tahu pasal. Tahu juga letak negara dalam pasal itu.” — Prof. Dr. HR Abdussalam, S.I.K., S.H., M.H.

Saya bukan anak Hukum Tata Negara. Tapi pesan dosen saya itu seperti palu godam yang mengetuk kesadaran: hukum bukan sekadar rumus, tapi juga ruang tempat negara berdiri. Maka saya pun memberanikan diri menyentuh satu institusi yang kerap jadi sorotan, tapi jarang dibedah dalam bingkai ketatanegaraan: POLRI.

Tanggal 5 Oktober 1998, BJ Habibie menyampaikan keputusan politik yang monumental: memisahkan Polri dari struktur komando ABRI. Lalu pada 1 April 1999, keputusan itu resmi dijalankan. Maka lahirlah Polri sebagai lembaga yang berdiri sendiri. Tapi seperti anak yang baru lepas dari rumah orang tua, Polri belum sepenuhnya merdeka. Masih ada bayang-bayang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 dan UU Nomor 2 Tahun 1998 yang membuatnya harus tunduk pada hukum tentara.

Lalu datang Megawati. Pada 8 Januari 2002, ia mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Sebuah tonggak penting yang menempatkan Polri secara proporsional dalam konstelasi ketatanegaraan. Artinya, Polri bukan lagi sekadar “anak ABRI,” tapi sudah punya kamar sendiri dalam rumah besar republik.

Pertanyaan klasik yang masih menggantung: Polri ini milik siapa? Eksekutif? Yudikatif? Atau entitas tersendiri?

  • Polri tak bisa masuk eksekutif, karena bukan pembuat kebijakan.
  • Polri juga tak bisa masuk yudikatif, karena bukan pemutus perkara.
  • Tapi Polri adalah penegak hukum. Maka ia berada dalam sistem peradilan pidana: Criminal Justice System.

Di sinilah paradoks muncul. Di satu sisi Polri harus menegakkan hukum secara independen. Di sisi lain, ia berada langsung di bawah Presiden. Maka muncul pertanyaan lanjutan: bagaimana menjaga prinsip checks and balances jika penegak hukum tunduk pada pemegang kekuasaan eksekutif?

Sidang Tahunan MPR tahun 2000 menerbitkan TAP MPR VII/2000. Di dalamnya, tepatnya Pasal 6 Bab II, ditegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pengayoman dan pelayanan. Kalimat yang indah, tapi sering kali terjebak dalam tafsir birokratis.

Apakah Polri cukup independen untuk menegakkan hukum terhadap kekuasaan? Atau justru menjadi alat kekuasaan untuk menegakkan “hukum versi penguasa”?

Seragam Polri adalah simbol wibawa. Tapi sistem tempat Polri berdiri adalah substansi demokrasi. Kita tak bisa hanya memoles simbol, tapi lupa membenahi sistem. Karena dalam negara hukum, yang harus dijaga bukan hanya ketertiban, tapi juga keadilan.

Dan keadilan tak lahir dari seragam, tapi dari keberanian menegakkan hukum meski terhadap kekuasaan sendiri.

Saya bukan pakar ketatanegaraan. Tapi saya percaya, hukum adalah ruang tempat negara bercermin. Dan Polri, sebagai cermin penegakan hukum, harus jernih. Jangan sampai retak karena tekanan politik, atau buram karena kompromi birokrasi.

Karena jika hukum tak lagi bisa menegakkan keadilan, maka negara hanya tinggal nama. Dan seragam hanya tinggal kostum. (Adv. Darius Leka, S.H.)

#polridalamcerminnegara #seragambukansegalanya #hukumadalahcerminnegara #jangkarkeadilan #foryou #fyp #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar