JANGKARKEADILAN, JAKARTA - “Kalau kau belajar hukum, jangan cuma tahu pasal. Tahu juga letak negara dalam pasal itu.” — Prof. Dr. HR Abdussalam, S.I.K., S.H., M.H.
Saya bukan anak Hukum Tata Negara. Tapi pesan dosen saya itu
seperti palu godam yang mengetuk kesadaran: hukum bukan sekadar rumus, tapi juga
ruang tempat negara berdiri. Maka saya pun memberanikan diri menyentuh satu
institusi yang kerap jadi sorotan, tapi jarang dibedah dalam bingkai
ketatanegaraan: POLRI.
Tanggal 5 Oktober 1998, BJ Habibie menyampaikan keputusan
politik yang monumental: memisahkan Polri dari struktur komando ABRI. Lalu pada
1 April 1999, keputusan itu resmi dijalankan. Maka lahirlah Polri sebagai
lembaga yang berdiri sendiri. Tapi seperti anak yang baru lepas dari rumah orang
tua, Polri belum sepenuhnya merdeka. Masih ada bayang-bayang Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1982 dan UU Nomor 2 Tahun 1998 yang membuatnya harus tunduk pada
hukum tentara.
Lalu datang Megawati. Pada 8 Januari 2002, ia mengesahkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Sebuah tonggak
penting yang menempatkan Polri secara proporsional dalam konstelasi
ketatanegaraan. Artinya, Polri bukan lagi sekadar “anak ABRI,” tapi sudah punya
kamar sendiri dalam rumah besar republik.
Pertanyaan klasik yang masih menggantung: Polri ini milik siapa? Eksekutif? Yudikatif? Atau entitas tersendiri?
- Polri
tak bisa masuk eksekutif, karena bukan pembuat kebijakan.
- Polri
juga tak bisa masuk yudikatif, karena bukan pemutus perkara.
- Tapi
Polri adalah penegak hukum. Maka ia berada dalam sistem peradilan pidana:
Criminal Justice System.
Di sinilah paradoks muncul. Di satu sisi Polri harus
menegakkan hukum secara independen. Di sisi lain, ia berada langsung di bawah
Presiden. Maka muncul pertanyaan lanjutan: bagaimana menjaga prinsip checks
and balances jika penegak hukum tunduk pada pemegang kekuasaan eksekutif?
Sidang Tahunan MPR tahun 2000 menerbitkan TAP MPR VII/2000.
Di dalamnya, tepatnya Pasal 6 Bab II, ditegaskan bahwa Polri adalah alat negara
yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan pengayoman dan pelayanan. Kalimat yang indah, tapi sering kali
terjebak dalam tafsir birokratis.
Apakah Polri cukup independen untuk menegakkan hukum
terhadap kekuasaan? Atau justru menjadi alat kekuasaan untuk menegakkan “hukum
versi penguasa”?
Seragam Polri adalah simbol wibawa. Tapi sistem tempat Polri
berdiri adalah substansi demokrasi. Kita tak bisa hanya memoles simbol, tapi
lupa membenahi sistem. Karena dalam negara hukum, yang harus dijaga bukan hanya
ketertiban, tapi juga keadilan.
Dan keadilan tak lahir dari seragam, tapi dari keberanian
menegakkan hukum meski terhadap kekuasaan sendiri.
Saya bukan pakar ketatanegaraan. Tapi saya percaya, hukum
adalah ruang tempat negara bercermin. Dan Polri, sebagai cermin penegakan
hukum, harus jernih. Jangan sampai retak karena tekanan politik, atau buram
karena kompromi birokrasi.
Karena jika hukum tak lagi bisa menegakkan keadilan, maka negara hanya tinggal nama. Dan seragam hanya tinggal kostum. (Adv. Darius Leka, S.H.)
#polridalamcerminnegara
#seragambukansegalanya #hukumadalahcerminnegara #jangkarkeadilan #foryou #fyp #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar