Senin, 29 Juni 2020

“Komsos dan Kisah Seorang Awam; Antara Panggilan, Politik, dan Paroki”


JANGKARKEADILAN, KOTA DEPOK - “Kau minim pengalaman, semoga jangan membuat Paroki Santo Paulus kembali menjadi Saulus.”— Romo Dryanto, Keuskupan Bogor
Kalimat itu masih terngiang. Bukan sekadar sentilan, tapi semacam ujian awal bagi siapa pun yang nekat melangkah ke altar pelayanan tanpa ijazah pengalaman. Dan saya, seorang awam biasa, tanpa portofolio lingkungan, wilayah, apalagi paroki, tiba-tiba diminta mengurusi Komunikasi Sosial (Komsos) di Paroki Santo Paulus Depok. Sebuah paroki yang, konon katanya, lebih banyak suara kontra ketimbang koor misa.
Akhir Desember 2010, Pater Tauchen—calon pastor paroki kala itu—menghubungi saya. Bukan untuk konsultasi hukum, tapi untuk “membantu di bidang Komsos.” Terdiam. Dalam hati bertanya: “Mengapa harus saya?” Tapi mentalitas “siap sedia” ala anak Flores membuat saya tak bisa menolak. Maju, walau tahu akan berhadapan dengan kultur paroki yang lebih suka status quo daripada inovasi.
Setelah pelantikan Dewan Paroki awal 2011, saya mulai menyadari: melayani Tuhan di paroki bukan hanya soal iman, tapi juga soal imunitas. Imun terhadap cibiran, imun terhadap sabotase halus, imun terhadap “umat senior” yang merasa lebih tahu segalanya. Tapi seperti kata pastor paroki, “Anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Maka saya pun menggonggongkan ide-ide baru: membenahi warta paroki, membangun jejaring antar-Komsos se-Keuskupan Bogor, hingga membuat website resmi paroki—yang hingga kini masih eksis meski tak selalu update.
Mari kita jujur: ada yang lebih profesional dari saya untuk urusan Komsos. Tapi kadang, di gereja, profesionalisme kalah oleh relasi. Yang penting “kenal siapa,” bukan “tahu apa.” Maka jangan heran jika yang menguasai kamera bukan jurnalis, tapi “anaknya si ini.” Yang mengelola media bukan komunikator, tapi “temannya si itu.” Di sinilah hukum tak tertulis paroki bekerja: meritokrasi seringkali kalah oleh kompromi.
Tahun 2016, saya diminta mengkoordinir Bidang Kerasulan Awam. Lagi-lagi, bukan karena saya ahli, tapi karena mungkin saya dianggap “bisa diajak kerja.” Di sinilah saya belajar bahwa gereja bukan hanya soal misa dan misa lagi. Tapi juga soal advokasi, dialog lintas iman, dan keterlibatan dalam urusan publik. Dalam politik, hirarki memang tak boleh praktis. Tapi awam? Wajib aktif. Karena jika bukan kita yang menentukan arah bangsa, siapa lagi?
Tahun 2020, pandemi datang seperti tamu tak diundang. Semua program HAAK terhenti. Gereja sunyi. Tapi justru di tengah keheningan itu, saya belajar: pelayanan bukan soal panggung, tapi soal pengorbanan. Bukan soal jabatan, tapi soal kehadiran. Bukan soal siapa yang paling profesional, tapi siapa yang paling setia.
Melayani di paroki itu seperti menanam gandum di ladang yang penuh ilalang. Kadang kita tergoda mencabut ilalangnya, tapi Tuhan berkata: “Biarkan mereka tumbuh bersama.” Maka saya biarkan saja. Toh, pada akhirnya, Tuhan yang akan memisahkan mana yang layak disimpan, mana yang layak dibakar.
Selamat merayakan Pesta Pelindung Paroki Santo Paulus Depok ke-60. Semoga kita semua, entah profesional atau awam, tetap setia melayani dengan hati. Karena di hadapan Tuhan, yang dilihat bukan CV, tapi komitmen.

Adv. Darius Leka, S.H. 
*) Ketua Bidang Komunikasi Sosial (Komsos 2010-2013), Kerasulan Awam dan Hukum (Kerawam 2014-2017) dan Hubungan Antar Agama &  Kepercayaan dan Hukum (HAAK 2018 2023) Gereja Katolik Santo Paulus Depok


#pelayanantanpaijazahpengalaman #melayanidenganimunitas #awamtapisiapsedia #paulusdepokbersamaawam #jangkarkeadilan #foryou #fyp #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar