JANGKARKEADILAN, JAKARTA - Di dunia yang katanya beradab, ternyata takhta tertinggi bukan milik raja, bukan milik pemimpin, bukan milik nabi. Ia milik benda kecil, tipis, dan bisa dilipat: uang. Dialah “Raja Dunia” yang tak pernah dinobatkan, tapi semua tunduk padanya.
Hubungan yang dulu dibangun dengan cinta, kini runtuh oleh angka.
Persahabatan pecah karena utang. Keluarga hancur karena warisan. Bahkan hukum
pun kadang tak luput dari godaannya. Di ruang sidang, keadilan bisa dibeli. Di
meja mediasi, nurani bisa ditukar.
“Uang bukan hanya alat tukar, tapi alat tukar prinsip,” kata seorang hakim
senior yang memilih pensiun dini.
Yang lebih mengerikan, uang menyusup ke ruang yang seharusnya suci:
spiritualitas. Gereja, masjid, pura, vihara—semua tak luput dari infiltrasi
ekonomi. Sumbangan jadi syarat pengakuan. Amal jadi investasi. Bahkan doa pun
kadang terdengar seperti proposal.
Di tengah krisis moral, kita lupa bahwa Tuhan tak pernah minta transfer. Ia minta kejujuran, keadilan, dan kasih. Tapi manusia lebih sibuk menghitung nominal daripada nilai. Kita berdoa untuk rezeki, tapi lupa berdoa untuk integritas.
Dalam praktik hukum, uang bisa menjadi pelumas atau perusak. Advokat yang
idealis sering kalah oleh mereka yang pragmatis. Putusan bisa berubah jika
amplop ikut masuk. Maka pertanyaannya: apakah hukum masih bisa dipercaya, atau
sudah jadi komoditas?
Hidup ini sementara. Hukum seharusnya abadi. Tapi jika hukum tunduk pada
uang, maka kita semua sedang berjalan menuju kehancuran yang legal. Saatnya
bertobat, bukan hanya secara spiritual, tapi juga secara sosial dan hukum.
“Semoga Tuhan menolong saya,” tulis seseorang di kolom komentar. Tapi mungkin Tuhan sedang menunggu kita menolong diri sendiri. (Adv. Darius Leka, S.H., M.H.)
#uangrajadunia #moraldikalahkannominal #hukumataukomoditas #advokatidealististersingkir #jangkarkeadilan #foryou #fyp #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar