JANGKARKEADILAN, KOTA DEPOK – Di tengah hiruk-pikuk zaman yang serba instan, Gereja Stasi Santa Maria Imakulata menjadi saksi bisu sebuah misa yang tak biasa. Romo Alexander Erwin Santoso, MSF, Ketua Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta, memimpin perayaan kudus yang tak hanya menyentuh altar, tapi juga menyentuh nalar. Di sela-sela liturgi, Sabitah—umat biasa dengan rasa ingin tahu luar biasa—mengajukan dua pertanyaan yang luar biasa sederhana: Apa tantangan keluarga Katolik saat ini? Dan apa harapan Romo untuk mereka?
Jawaban Romo Erwin bukan sekadar refleksi rohani. Ia adalah
potret sosial, hukum, dan budaya yang layak direnungkan, bahkan dikritisi.
“Sekarang ini, banyak orang bersikap ‘mudah menyelesaikan
masalah’, bukannya ‘mau menyelesaikan masalah’,” ujar Romo dengan nada yang
lebih tajam dari pedang bermata dua. Di era digital, konflik rumah tangga tak
lagi diselesaikan dengan dialog, melainkan dengan gugatan cerai online. Satu klik,
satu surat cerai. Satu klik, satu rumah terbelah.
Padahal, dalam hukum Gereja Katolik, perceraian bukanlah
opsi. Kitab Hukum Kanonik (CIC) menyatakan bahwa perkawinan Katolik bersifat
tak terceraikan. Bahkan dalam hukum negara, perceraian bukanlah jalan pintas
tanpa konsekuensi. Ada anak yang terabaikan, harta yang diperebutkan, dan luka
yang tak bisa disembuhkan oleh algoritma.
Romo Erwin juga menyoroti pergaulan anak-anak yang “hebat tapi kebablasan.” Dunia digital memberi mereka akses tanpa batas, tapi tak memberi mereka kompas moral. Satu klik bisa membuka pintu ke dunia yang belum siap mereka masuki. Ironisnya, orang tua sibuk dengan klik mereka sendiri—scrolling tanpa henti, lupa bahwa anak-anak butuh pendampingan, bukan sekadar pengawasan.
“Ajaran Katolik bisa tenggelam jika tidak dipahami oleh
keluarga,” tegas Romo. Ini bukan sekadar kekhawatiran rohani, tapi juga
tantangan hukum. Banyak pasangan Katolik yang tidak tahu bahwa pernikahan
mereka bukan sekadar kontrak sosial, tapi sakramen yang mengikat secara ilahi
dan legal. Tanpa pemahaman, mereka bisa terjebak dalam konflik yang tak bisa
diselesaikan dengan hukum negara saja.
Romo Erwin menekankan pentingnya pendampingan keluarga oleh
Gereja. Bukan hanya saat retret atau kursus pranikah, tapi sepanjang usia
pernikahan. Karena masalah rumah tangga tidak mengenal masa kadaluarsa. Usia
1-5 tahun, 5-10 tahun, hingga 20 tahun ke atas, semua punya tantangan sendiri.
Dan semua butuh pendampingan yang relevan, bukan ceramah yang basi.
Dalam hukum pastoral, ini adalah bentuk tanggung jawab
Gereja terhadap umatnya. Dalam hukum sosial, ini adalah bentuk intervensi
preventif terhadap potensi konflik. Dan dalam hukum cinta, ini adalah bentuk
kasih yang tak mengenal batas waktu.
Gereja bukan kantor konsultan pernikahan. Tapi jika hanya
jadi museum ajaran yang tak pernah dibuka, maka umat akan mencari solusi di
tempat lain—di pengacara, di psikolog, atau di aplikasi perceraian online.
Maka, Romo Paroki harus lebih dari sekadar pemimpin liturgi. Ia harus jadi
pelayan keluarga, fasilitator dialog, dan penjaga komitmen.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Pemerhati dan Pengurus Komisi KerasulanKeluraga Dekenat Uatara Keuskupan Bogor)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar