Kamis, 11 Juni 2020

Cinta di Ujung Jurang; Ardus, Angela, dan Belis yang Tak Pernah Ringan

JANGKARKEADILAN, KOTA DEPOK – Di sebuah sudut Flores yang tak tercantum dalam peta wisata, cinta tumbuh di antara deru angkot dan debu jalanan. Ardus dan Angela—dua nama yang tak tercantum dalam akta kelahiran cinta modern—menjalin kisah yang lebih mirip puisi daripada rencana hidup. Ia, si sopir angkot yang pernah merantau ke Malaysia dan pulang dengan gelar DO dari kampus lokal. Ia, si siswi kelas III SMA yang setiap pagi dijemput dengan senyum dan setia.

Namun, cinta mereka bukan kisah sinetron sore. Ini adalah drama hukum, sosial, dan budaya yang berlapis-lapis. Dan seperti biasa, cinta di negeri ini tak pernah cukup hanya dengan perasaan.

Angela, 18 tahun, belum genap dewasa menurut hukum, apalagi menurut adat. Ia mulai bolos sekolah, terpikat oleh janji Ardus yang lebih manis dari pelajaran matematika. Ketika ulang tahun tiba, ia dibawa keluar kota. Bukan ke museum atau perpustakaan, tapi ke tempat di mana cinta bisa terasa lebih nyata daripada masa depan.

Namun, cinta yang tak mengenal batas usia dan norma sosial, sering kali berakhir di meja musyawarah keluarga. Ayah Angela, dengan nada yang tak bisa ditawar, menuntut belis mahal jika Ardus berani menikahi putrinya. Belis—sebuah institusi adat yang kadang lebih tajam dari hukum negara.

Secara hukum, Angela belum dewasa penuh. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sebelum revisi), usia minimal menikah adalah 16 tahun bagi perempuan. Namun setelah revisi melalui UU No. 16 Tahun 2019, batas itu naik menjadi 19 tahun. Angela belum sampai di sana. Maka, pernikahan mereka, jika dipaksakan, bisa melanggar hukum positif.

Namun, hukum negara bukan satu-satunya penguasa di tanah Flores. Di sana, adat adalah raja. Belis bukan sekadar uang atau barang, tapi simbol kehormatan, tanggung jawab, dan status sosial. Menikahi Angela tanpa restu dan tanpa belis adalah seperti mencuri matahari dari langit: terang tapi terkutuk.

Psikolog menyebut usia Angela sebagai masa transisi: belum matang, tapi sudah ingin menentukan arah. Di negara-negara Barat, anak usia 18 tahun bisa memilih presiden, menikah, dan bahkan berperang. Di Indonesia, terutama di daerah dengan adat kuat, usia bukan satu-satunya ukuran kedewasaan.

Angela belum selesai sekolah. Ardus belum punya penghasilan tetap. Cinta mereka, meski tulus, belum cukup kuat untuk menanggung beban sosial, ekonomi, dan hukum. Mereka bermain api dan air di tepi jurang, kata orang tua Angela. Dan sayangnya, cinta tak selalu punya pelampung.

Angela dipukul jika ketahuan pergi bersama Ardus. Ini bukan sekadar disiplin, tapi bentuk kekerasan yang melanggar hak anak. UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari kekerasan fisik dan psikis. Namun, di banyak tempat, cinta pertama sering kali kalah oleh tangan pertama yang melayang.

Orangtua Angela mungkin bermaksud baik. Mereka ingin menyelamatkan anaknya dari keterlanjuran. Tapi cara yang digunakan bisa jadi memperparah luka. Di sinilah hukum dan budaya harus berdialog, bukan berduel.

Angela dan Ardus punya pilihan: menunda demi tumbuh. Menyelesaikan sekolah, menabung, dan membuktikan bahwa cinta mereka bukan sekadar pelarian. Jika memang jodoh, gunung pun tak akan lari. Tapi jika dipaksakan, cinta bisa berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan.

Cinta yang matang lahir dari kesabaran, bukan dari pelarian. Dari tanggung jawab, bukan dari keterlanjuran. Dan dari keberanian untuk berkata: “Kita tunggu, bukan kabur.”

Artikel ini bisa menjadi pengingat bahwa cinta bukan hanya urusan hati, tapi juga urusan hukum, adat, dan masa depan.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Pemerhati dan Pengurus Komisi KerasulanKeluraga Dekenat Uatara Keuskupan Bogor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar