JANGKARKEADILAN, KOTA DEPOK – Di sebuah sudut Flores yang tak tercantum dalam peta wisata, cinta tumbuh di antara deru angkot dan debu jalanan. Ardus dan Angela—dua nama yang tak tercantum dalam akta kelahiran cinta modern—menjalin kisah yang lebih mirip puisi daripada rencana hidup. Ia, si sopir angkot yang pernah merantau ke Malaysia dan pulang dengan gelar DO dari kampus lokal. Ia, si siswi kelas III SMA yang setiap pagi dijemput dengan senyum dan setia.
Namun, cinta mereka bukan kisah sinetron sore. Ini adalah
drama hukum, sosial, dan budaya yang berlapis-lapis. Dan seperti biasa, cinta
di negeri ini tak pernah cukup hanya dengan perasaan.
Angela, 18 tahun, belum genap dewasa menurut hukum, apalagi
menurut adat. Ia mulai bolos sekolah, terpikat oleh janji Ardus yang lebih
manis dari pelajaran matematika. Ketika ulang tahun tiba, ia dibawa keluar
kota. Bukan ke museum atau perpustakaan, tapi ke tempat di mana cinta bisa
terasa lebih nyata daripada masa depan.
Namun, cinta yang tak mengenal batas usia dan norma sosial,
sering kali berakhir di meja musyawarah keluarga. Ayah Angela, dengan nada yang
tak bisa ditawar, menuntut belis mahal jika Ardus berani menikahi putrinya.
Belis—sebuah institusi adat yang kadang lebih tajam dari hukum negara.
Secara hukum, Angela belum dewasa penuh. Menurut UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (sebelum revisi), usia minimal menikah adalah 16
tahun bagi perempuan. Namun setelah revisi melalui UU No. 16 Tahun 2019, batas
itu naik menjadi 19 tahun. Angela belum sampai di sana. Maka, pernikahan
mereka, jika dipaksakan, bisa melanggar hukum positif.
Namun, hukum negara bukan satu-satunya penguasa di tanah
Flores. Di sana, adat adalah raja. Belis bukan sekadar uang atau barang, tapi
simbol kehormatan, tanggung jawab, dan status sosial. Menikahi Angela tanpa
restu dan tanpa belis adalah seperti mencuri matahari dari langit: terang tapi
terkutuk.
Psikolog menyebut usia Angela sebagai masa transisi: belum matang, tapi sudah ingin menentukan arah. Di negara-negara Barat, anak usia 18 tahun bisa memilih presiden, menikah, dan bahkan berperang. Di Indonesia, terutama di daerah dengan adat kuat, usia bukan satu-satunya ukuran kedewasaan.
Angela belum selesai sekolah. Ardus belum punya penghasilan
tetap. Cinta mereka, meski tulus, belum cukup kuat untuk menanggung beban
sosial, ekonomi, dan hukum. Mereka bermain api dan air di tepi jurang, kata
orang tua Angela. Dan sayangnya, cinta tak selalu punya pelampung.
Angela dipukul jika ketahuan pergi bersama Ardus. Ini bukan
sekadar disiplin, tapi bentuk kekerasan yang melanggar hak anak. UU
Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 menyatakan bahwa anak berhak atas
perlindungan dari kekerasan fisik dan psikis. Namun, di banyak tempat, cinta
pertama sering kali kalah oleh tangan pertama yang melayang.
Orangtua Angela mungkin bermaksud baik. Mereka ingin
menyelamatkan anaknya dari keterlanjuran. Tapi cara yang digunakan bisa jadi
memperparah luka. Di sinilah hukum dan budaya harus berdialog, bukan berduel.
Angela dan Ardus punya pilihan: menunda demi tumbuh.
Menyelesaikan sekolah, menabung, dan membuktikan bahwa cinta mereka bukan
sekadar pelarian. Jika memang jodoh, gunung pun tak akan lari. Tapi jika
dipaksakan, cinta bisa berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan.
Cinta yang matang lahir dari kesabaran, bukan dari pelarian.
Dari tanggung jawab, bukan dari keterlanjuran. Dan dari keberanian untuk
berkata: “Kita tunggu, bukan kabur.”
Artikel ini bisa menjadi pengingat bahwa cinta bukan hanya
urusan hati, tapi juga urusan hukum, adat, dan masa depan.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Pemerhati dan Pengurus Komisi KerasulanKeluraga Dekenat Uatara Keuskupan Bogor)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar