Berbicara soal seksualitas selalu menarik dan tidak pernah kekurangan bahan. Tapi kita kerap dibingungkan dengan istilah seks dan seksualitas, bahkan sering mencampuradukkan arti keduanya.JANGKARKEADILAN.COM, BOGOR – Apakah arti kedua istilah itu? Adakah perbedaan arti keduanya? Identikkah istilah seks dan seksualitas itu dengan alat kelamin? Apakah maknanya bagi keberadaan manusia?
Sebenarnya seksualitas memiliki arti yang sangat luas. Ia diartikan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan susunan, fungsi, dan sifat dari jenis kelamin. Apabila kita berbicara mengenai anatomi dan fisiologi alat kelamin manusia, soal prokreasi dan reproduksi, dan hal-hal yang berhubungan dengan kepriaan dan kewanitaan, berarti kita berbicara mengenai seksualitas. Dengan kata lain, seksualitas itu berbeda dengan seks (alat kelamin). Seksualitas mempunyai cakupan yang lebih luas. Soal seks (genital) sudah termasuk di dalam cakupan itu.
Pada manusia, seksualitas menampakkan diri dalam seluruh keberadaan dirinya. Seksualitas menyentuh seluruh aspek dari manusia. Ia akan nampak dalam cara berpikir (intuitif, konkrit, objektif, teoretis, abstrak, global, partial, aktual, altruistik atau egoistik); cara berperasaan (mudah terharu, tegar, mudah tenggelam dalam perasaan, mudah trenyuh, mudah terluka, membendung perasaan, marah, ramah, jatuh cinta, mudah atau susah mengekspresikan cinta); alun dan selera seks (mudah atau susah terangsang dengan daya tarik fisik, rangsangan yang cepat atau susah bangkit, hasrat seks yang cepat datang dan cepat pergi atau susah datang dan susah hilang); serta sikap dan tindakan (agresif atau pasif, memberi atau menerima, berbuat atau memelihara, merawat, memelihara).
Pandangan di atas ternyata sama dengan pendapat Gereja Katolik. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 6 nomor 2.332 tertulis ‘seksualitas menyentuh segala aspek manusia dalam kesatuan tubuh dan jiwanya. Ia terutama menyangkut kehidupan perasaannya, kemampuan untuk mencintai dan untuk melahirkan anak, dan lebih umum, kemungkinan untuk mengikat tali persekutuan dengan orang lain.’
Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada dirinya sendiri, manusia dicirikan oleh seksualitasnya. Tak ada manusia tanpa seksualitas. Seksualitas menjadi bagian integral dari dirinya. Manusia dan seksualitas menjadi satu realitas yang tak terbagikan.
Gereja menambahkan bahwa substansi (un essere) seksualitas adalah keterbukaan atau komunikasi terhadap pribadi lain. Seksualitas memampukan manusia untuk membuka diri pada seksualitas dari pribadi lain. Karenanya, manusia bisa keluar dari dirinya sendiri untuk saling berelasi, saling mencintai, bahkan saling bersekutu dengan orang lain. Bentuk persekutuan ini memuncak pada komitmen pria dan wanita untuk hidup dalam perkawinan.
Karena kemampuan manusia untuk keluar dari dirinya sendiri dan bersekutu dengan pribadi lain (perkawinan) inilah seksualitas manusia mendatangkan buah. Berkat seksualitasnya, manusia bisa mendatangkan manusia-manusia baru. Dan dengan keterbukaan pada keturunan (prokreasi) ini, menjadi tanda bahwa manusia menjadi ‘partner Allah’ dalam karya penciptaan. Dengan seksualitasnya, dua pribadi, pria dan wanita yang menyatu dalam perkawinan telah diangkat Allah menjadi co-Creator, mitra kerja Allah dalam tata penciptaan.
Beberapa kutipan Alkitab memberikan dasar pada hal-hal tersebut di atas: “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya...Sebagai pria dan wanita Ia menciptakan mereka” (Kej. 1:27); “Beranak cuculah dan bertambah banyak” (Kej. 1:28); “Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama ‘manusia’ kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan” (Kej. 5:1-2). Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan Gereja Katolik juga percaya bahwa seksualitas dihendaki oleh Allah. Allah sendiri yang mengadakannya.
Berkat seksualitasnya, manusia menjadi partner Allah dalam karya penciptaan. Seksualitas memiliki fungsi penyelamatan bagi manusia. Manusia bukan saja bersatu dengan sesama, tapi juga bersekutu dengan Allah.
“Tiap manusia, entah pria maupun wanita, harus mengakui dan menerima seksualitasnya. Perbedaan dan kesesuaian jasmani, moral dan rohani ditujukan pada pernikahan dan pengembangan hidup berkeluarga. Keserasian suami istri dan masyarakat untuk sebagiannya tergantung pada bagaimana kesalingan, kebutuhan dan usaha saling membantu dari pria dan wanita itu dihayati” (KGK 2333).
Demikianlah, seksualitas mewarnai seluruh keberadaan manusia. Oleh karena itu, manusia disebut makhluk seksual.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada dirinya sendiri, manusia dicirikan oleh seksualitasnya. Tak ada manusia tanpa seksualitas. Seksualitas menjadi bagian integral dari dirinya. Manusia dan seksualitas menjadi satu realitas yang tak terbagikan.
Gereja menambahkan bahwa substansi (un essere) seksualitas adalah keterbukaan atau komunikasi terhadap pribadi lain. Seksualitas memampukan manusia untuk membuka diri pada seksualitas dari pribadi lain. Karenanya, manusia bisa keluar dari dirinya sendiri untuk saling berelasi, saling mencintai, bahkan saling bersekutu dengan orang lain. Bentuk persekutuan ini memuncak pada komitmen pria dan wanita untuk hidup dalam perkawinan.
Karena kemampuan manusia untuk keluar dari dirinya sendiri dan bersekutu dengan pribadi lain (perkawinan) inilah seksualitas manusia mendatangkan buah. Berkat seksualitasnya, manusia bisa mendatangkan manusia-manusia baru. Dan dengan keterbukaan pada keturunan (prokreasi) ini, menjadi tanda bahwa manusia menjadi ‘partner Allah’ dalam karya penciptaan. Dengan seksualitasnya, dua pribadi, pria dan wanita yang menyatu dalam perkawinan telah diangkat Allah menjadi co-Creator, mitra kerja Allah dalam tata penciptaan.
Beberapa kutipan Alkitab memberikan dasar pada hal-hal tersebut di atas: “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya...Sebagai pria dan wanita Ia menciptakan mereka” (Kej. 1:27); “Beranak cuculah dan bertambah banyak” (Kej. 1:28); “Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama ‘manusia’ kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan” (Kej. 5:1-2). Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan Gereja Katolik juga percaya bahwa seksualitas dihendaki oleh Allah. Allah sendiri yang mengadakannya.
Berkat seksualitasnya, manusia menjadi partner Allah dalam karya penciptaan. Seksualitas memiliki fungsi penyelamatan bagi manusia. Manusia bukan saja bersatu dengan sesama, tapi juga bersekutu dengan Allah.
“Tiap manusia, entah pria maupun wanita, harus mengakui dan menerima seksualitasnya. Perbedaan dan kesesuaian jasmani, moral dan rohani ditujukan pada pernikahan dan pengembangan hidup berkeluarga. Keserasian suami istri dan masyarakat untuk sebagiannya tergantung pada bagaimana kesalingan, kebutuhan dan usaha saling membantu dari pria dan wanita itu dihayati” (KGK 2333).
Demikianlah, seksualitas mewarnai seluruh keberadaan manusia. Oleh karena itu, manusia disebut makhluk seksual.
_____________________
(A. Sutarno, Pr/Foto: addriadi.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar