JANGKARKEADILAN, BOGOR – Di negeri yang gemar menyembunyikan hasrat di balik tirai moralitas, berbicara soal seksualitas sering dianggap tabu. Padahal, seksualitas bukanlah dosa. Ia adalah anugerah. Tapi sayangnya, kita sering mencampuradukkan antara “seks” dan “seksualitas” seolah keduanya adalah sinonim yang bisa dipertukarkan di meja makan keluarga atau di kolom komentar media sosial.
Mari kita luruskan. Dengan gaya yang sedikit nakal, tapi
tetap bernas.
Seks adalah bagian dari seksualitas, tapi seksualitas bukan
hanya soal seks. Seks adalah alat kelamin, aktivitas biologis, dan urusan
ranjang. Seksualitas adalah simfoni keberadaan manusia: cara berpikir, cara
merasa, cara mencinta, cara berelasi, bahkan cara berdoa.
Seksualitas adalah bagaimana seseorang mengekspresikan
dirinya sebagai pria atau wanita, bukan hanya bagaimana ia berfungsi secara
genital. Ia menyentuh tubuh dan jiwa, seperti yang tertulis dalam Katekismus
Gereja Katolik (KGK 2332): “Seksualitas menyentuh segala aspek manusia dalam
kesatuan tubuh dan jiwanya.”
Jadi, jika Anda berpikir seksualitas hanya soal birahi, Anda
sedang membaca kamus yang salah.
Gereja Katolik, yang sering dituduh konservatif, justru
punya pandangan yang sangat progresif tentang seksualitas. Dalam KGK 2333,
disebutkan bahwa tiap manusia harus mengakui dan menerima seksualitasnya.
Seksualitas adalah keterbukaan terhadap pribadi lain. Ia adalah jembatan menuju
cinta, bukan sekadar jalan tol menuju keturunan.
Seksualitas memungkinkan manusia keluar dari dirinya sendiri, untuk mencintai, bersekutu, dan berkomitmen. Dalam perkawinan, dua pribadi menjadi satu tubuh, satu jiwa, dan satu misi: menjadi co-Creator bersama Allah. Bukan hanya membuat anak, tapi membangun dunia.
Dalam hukum negara, seksualitas sering kali direduksi
menjadi urusan kesehatan reproduksi dan perlindungan anak. Dalam hukum Gereja,
seksualitas adalah sakramen kehidupan. Dalam hukum sosial, seksualitas adalah
identitas dan ekspresi.
Ketika ketiganya tidak sinkron, muncullah kebingungan:
apakah seksualitas harus diatur, dirayakan, atau disensor?
Jawabannya: seksualitas harus dipahami. Karena tanpa
pemahaman, kita akan terus terjebak dalam stigma, ketakutan, dan kebodohan.
Kita akan terus menyalahkan tubuh, padahal yang perlu dikoreksi adalah cara
berpikir.
Di dunia yang gemar mengklik tapi malas memahami,
seksualitas sering dijadikan kambing hitam. Padahal ia adalah cermin. Ia
menunjukkan siapa kita, bagaimana kita mencinta, dan sejauh mana kita berani
membuka diri.
Jadi, sebelum Anda menuduh orang lain “terlalu seksual”,
tanyakan dulu: apakah Anda sudah cukup manusia?
Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Pemerhati dan Pengurus Komisi KerasulanKeluraga Dekenat Uatara Keuskupan Bogor)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar