Kamis, 11 Juni 2020

Bandeng Presto dan Sakramen Perkawinan; Konflik Dapur, Cinta, dan Hukum Tuhan

RP. Markus Gunadi, OFM

JANGKARKEADILAN, BOGOR – Di sebuah rumah Katolik yang aktif di paroki, aroma bandeng presto menguar dari meja makan. Bapak tersenyum, ibu bersinar, anak-anak kenyang. Doa sebelum dan sesudah makan telah selesai, tapi rupanya bukan hanya perut yang diisi malam itu—emosi pun ikut tersulut.

“Bu… bandeng prestonya enak sekali,” kata bapak dengan nada penuh cinta. “Pak… saya mau buat surprise,” jawab ibu dengan nada penuh harap. Tapi kejutan itu berubah jadi debat anggaran rumah tangga. Alat presto seharga satu juta rupanya bukan hanya mengukus ikan, tapi juga menguapkan kesabaran.

Pertengkaran itu bukan soal bandeng. Ia adalah simbol dari konflik klasik dalam rumah tangga: prioritas versus spontanitas, cinta versus logika, kebutuhan versus keinginan. Ibu ingin memberi kebahagiaan, bapak ingin menjaga kestabilan. Uang arisan versus uang kuliah. Siapa yang salah?

Dalam hukum keluarga, tidak ada pasal yang mengatur pembelian alat presto. Tapi ada prinsip yang mengatur: komunikasi, transparansi, dan kesepakatan. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa suami istri wajib saling menghormati dan membantu. Membantu bukan berarti menyetujui semua keputusan, tapi juga berani berkata “tidak” demi kebaikan bersama.

Konflik seperti ini bukanlah kegagalan, tapi bagian dari panggilan hidup berkeluarga. Maka Gereja Katolik, lewat Seksi Kerasulan Keluarga (SKK), rutin mengadakan misa pembaharuan janji perkawinan. Di sana, pasutri berbagi kisah: dari dapur hingga altar, dari pertengkaran hingga pengampunan.

Pasutri Antunius Gurning menyebut pernikahan mereka sebagai “sungai yang terus mengalir di musim kering.” Keluarga Anton Wibisono menjadikan rumah sebagai tempat pendidikan iman, bukan sekadar tempat tidur. Keluarga Hengky menjadi saluran berkat, meski harus jatuh bangun dalam konflik dan krisis.

Mereka tidak sempurna. Tapi mereka setia. Dan dalam hukum kasih, kesetiaan lebih bernilai daripada kemenangan debat.

RP. Markus Gunadi, OFM, mengingatkan bahwa keluarga adalah gambaran Gereja sebagai mempelai Kristus. Paus Yohanes Paulus II pun menegaskan bahwa imam harus mencintai Gereja seperti Kristus mencintainya. Maka, keluarga pun harus mencintai satu sama lain seperti Kristus mencintai umat-Nya: penuh pengorbanan, pengampunan, dan pengharapan.

Alat presto bisa melunakkan duri bandeng, tapi tidak bisa melunakkan ego manusia. Untuk itu, diperlukan alat lain: doa, dialog, dan diskusi. Keluarga bukan tempat untuk menang, tapi tempat untuk bertumbuh. Dan pertengkaran bukan akhir, tapi awal dari pemahaman yang lebih dalam.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Pemerhati dan Pengurus Komisi Kerasulan Keluraga Dekenat Uatara Keuskupan Bogor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar