Keluarga merupakan bagian terpenting dalam Gereja maupun masyarakat. Banyak orang mengatakan tidak mungkin ada kehidupan masyarakat yang baik bila tidak ada keluarga yang baik di dalamnya. Dengan logika yang sama kerapkali dikaitkan dengan kehidupan Gereja: “Tidaklah mungkin Gereja mandiri dan berbuah bila tidak didukung oleh keluarga-keluarga Katolik di dalamnya”.
Keluarga sebagai gereja kecil atau seperti kata St. Yohanes Christotomus sebagai Gereja rumah tangga adalah tempat Yesus Kristus hidup dan berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya Kerajaan Allah. Anggota-anggota keluarga yang terpanggil untuk iman dan hidup kekal adalah” peserta-peserta dalam lingkup kodrat ilahi” (2 Pet 1,4). Artinya setiap anggota keluarga itu mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Paus Paulus VI mempertajam pengertian keluarga sebagai Gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii Nutiandi, menulis: ”…Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.” Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus. Sebagai Gereja juga, setiap keluarga dipanggil untuk menyatakan kasih Allah yang begitu luar biasa baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga diberi makan Sabda Allah dan sakramen-sakramen. Mereka pun seharusnya bisa mengungkapkan diri dalam cara pikir dan memiliki tingkah laku yang sesuai dengan semangat injil.”
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Untuk memahami hakekat keluarga sebagai persekutuan ilahi sekaligus manusiawi, kita harus merujuk pada pemahaman perkawinan sebagai sakramen dan peranan keluarga. Kitab Suci memberikan dasar atau landasan untuk menggali lebih dalam maksud dan tujuan dari sakramen perkawinan yang merujuk pada kisah penciptaan manusia pertama, laki-laki dan perempuan, menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Dalam kisah itu, digambarkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang menjadi teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dipersatukan menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:224). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).Hal ini ditegaskan kembali dalam Perjanjian Baru bahwa laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (bdk. Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Terjadinya perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah yang adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16). Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam persekutuan Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/total, dan menghasilkan buah. Hal ini telah ditampakkan-Nya dalam diri Sang Putera yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Tidak sampai di situ, setelah Yesus naik ke surga, Ia juga mengutus Roh Kudus-Nya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk menjiwai kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya untuk menggambarkan persekutuan-Nya yang setia kepada umat manusia. Dan dalam Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.
Sakramen Perkawinan Menurut Ajaran Gereja
Bersumber dari dasar biblis tersebut, Gereja kemudian dalam ajarannya menyatakan bahwa perkawinan adalah persekutuan seumur hidup antara sungguh pria dan sungguh wanita sesuai dengan hukum. Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak. Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.
Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia’ satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelaiNya.
Gagasan ini oleh St. Agustinus disejajarkan dengan karakter sakramen baptis dan imamat, yaitu rahmat pengudusan, menghadirkan Kristus di dunia dan tak terceraikan. Perkawinan kristiani itu res et sacramentum (rahmat sakramental). Perkawinan kristiani adalah ikatan cinta kasih yang tidak terceraikan (sacramentum) dan rahmat kasih Kristus yang dianugerahkan kepada suami-istri dalam Gereja-Nya. Menurut St. Agustinus, sifat sakramental ini hanya terdapat dalam perkawinan antar orang kristiani yang sekaligus juga menunjukkan adanya persatuan cinta kasih antar suami-istri kristiani yang kekal untuk selamanya karena dipersatukan oleh Kristus sendiri. Pada masa skolastik perkawinan kristiani sudah disadari sebagai martabat sakramen. Dari para tokoh skolastik muncul dua ajaran: sakramen perkawinan memberi rahmat penyembuh (Petrus Lombardus) dan sakramen perkawinan memberi rahmat pengudus (Gulilemus dan St. Albertus Magnus).
Sementara, tokoh lain dari masa Skolastik, St. Thomas Aquino dengan bertitik tolak dari pandangan St. Agustinus berpandangan dan mengajarkan bahwa cinta kasih suami-istri merupakan rahmat (res) dan sakramen (sacamentum). Ikatan cinta kasih suami-istri itu rahmat (res), sebab ikatan cinta kasih suami-istri itu sendirilah yang pertama-tama menentukan moralitas hubungan seksual suami-istri. Ikatan suami-istri menjadi sakramen karena ikatan cinta kasih suami-istri tersebut menandakan dan mengaktualkan hubungan cinta kasih Kristus dan Gereja.Nilai sakramental merupakan nilai yang paling luhur bila dibandingkan nilai-nilai yang lainnya.
Konsili Trente dalam sidangnya sessi XXVI, 11 Nopember 1563, menegaskan tempat perkawinan dalam tradisi hidup Gereja sebagai sakramen yang diadakan oleh Kristus sendiri. Konsili menyatakan bahwa cinta kasih suami istri kodrati itu disempurnakan, persatuan yang tak terceraikan dikokohkan dan suami-istri sendiri dikuduskan dengan rahmat yang melimpah dari sengsara Kristus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa justru karena rahmat yang melimpah dari sengsara Kristus, perkawinan kristiani menjadi tanda kehadiran Kristus di dunia. Karena daya rahmat itu, perkawinan kristiani di dalam Kristus menjadi tanda aktual bahwa Allah tetap setia hadir dan menguatkan hidup manusia. Berdasarkan kodratnya, perkawinan yang adalah sakramen terarah pada kelahiran anak. Anak yang telah dikonsepsi harus dipelihara dan dirawat dengan penuh cinta sehingga anak yang merupakan mahkota perkawinan dan buah cinta sungguh dapat tumbuh menjadi manusia yang utuh. Melalui hal ini, suami-istri menjadi mitra Allah dalam menurunkan kehidupan baru.
Dalam konteks inilah keluarga menjadi tempat persemaian dan perlindungan hidup manusia. Di tengah situasi dunia yang ditandai oleh kultur kematian, keluarga kristiani dipanggil untuk menjadi pencinta, perawat, penjaga, dan pembela kehidupan, mulai dari konsepsi sampai pada kematian alamiah. Keluarga dipanggil untuk menjadi pewarta Injil kehidupan, siap menerima kehadiran manusia baru dalam kondisi apa pun. Hal ini penting direnungkan sebab dalam masyarakat yang ditandai oleh kultur kematian, hidup manusia diukur dan dinilai berdasarkan kualitas dan prestasi, sementara hidup orangorang yang menderita cacat bawaan, penderita sakit tak tersembuhkan, usia lanjut, dianggap hanya sebagai beban keluarga dan layak diakhiri. Maka, keluarga Katolik dipanggil untuk menjadi pendukung Injil kehidupan (Evangelium Vitae) dengan gerakan Pro Life.
Konsili Vatikan II, di dalam Gaudium et Spes (GS) artikel 48 menegaskan: “Keluarga kristiani, karena berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja, akan menampakkan kepada semua orang kehadiran Sang Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan hakekat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih suami-istri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerjasama yang penuh kasih antara semua anggotanya”.
Peranan Keluarga Katolik
Sesuai dengan rencana Allah, maka keluarga Katolik mengemban empat tugas penting: membentuk komunitas antapribadi, mengabdi kehidupan, ikut serta dalam pembangunan masyarakat, dan mengambil bagian dalam hidup dan perutusan Gereja.
Membentuk Persekutuan Antarpribadi
Cinta merupakan dasar kehidupan keluarga. Keluarga harus memperkembangkan cinta itu agar tumbuh menjadi komunitas antarpribadi. Cinta yang mempersatukan suami-istri adalah cinta yang eksklusif. Roh Kudus mencurahkan cinta sejati kepada mereka lewat sakramen perkawinan, sebagaimana cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Kesatuan semacam itu dilawan oleh poligami, yang menentang kehendak Allah. Cinta suami-istri juga tak terceraikan, karena cinta yang total, karena dituntut demi kesejahteraan anak, karena dikehendaki Allah menjadi lambang cinta Allah dan Kristus bagi umat-Nya. Maka, secara tegas perceraian ditolak oleh Kristus sendiri (Mat 19).
Martabat perempuan yang sederajat dengan laki-laki perlu ditegaskan lagi dalam hidup perkawinan dan keluarga sekarang ini. Kesederajatan ini sudah dan selalu diwahyukan dalam sejarah keselamatan sejak awal (Kej 1:27), pun dalam panggilan Maria sebagai ibu Yesus, dan hormat Yesus kepada kaum perempuan. Pengakuan akan martabat perempuan berarti juga pengakuan bahwa mereka punya hak ikut berperan dalam masyarakat. Namun perannya sebagai istri dan ibu harus tetap diakui dan dihargai sehingga kerja mereka di rumah pun harus dihargai pula. Gereja mengecam praktek-praktek yang merendahkan martabat perempuan lewat diskriminasi, pornografi, pelacuran, perkosaan, dan lain-lain.
Laki-laki terutama berperan sebagai suami dan ayah. Ia harus mencintai istri seperti cinta Kristus kepada Gereja dan anak-anak. Kehadirannya amat diperlukan anak-anak dan keluarganya agar mereka dapat tumbuh sehat. Sejak pembuahan, anak harus dilindungi, dihargai dan dicintai. Martabat pribadinya diakui, dijadikan pusat perhatian orang tuanya. Sedangkan para orang tua perlu tetap dihargai perannya dalam keluarga, dalam Gereja dan dalam masyarakat karena pengalaman dan kebijaksanaannya.
Mengabdi Kehidupan
keluarga 2Cinta suami-istri bersifat subur, baik dalam arti menurunkan anak maupun dalam membuahkan kekayaan moral dan spiritual. Hubungan seks dan hidup berkeluarga terarah kepada penerusan penciptaan manusia (Kej 1) dan pendidikan anak-anak.
Zaman ini ditandai oleh mentalitas anti kelahiran, yang bisa berlanjut menjadi mentalitas anti kehidupan. Maka, Gereja mengecam pemerintah yang mengingkari hak orang tua untuk menentukan jumlah anak atau mendesakkan kontrasepsi, sterilisasi, dan abortus.
Berdasarkan kodratnya, hubungan seks suami-istri bersifat unitif dan proaktif. Kontrasepsi (buatan) mengingkari makna ganda itu, sedangkan pantang berkala tak diingkari. Maka, Gereja Katolik hanya memperkenankan KBA. Gereja memahami dan mendampingi keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan, namum tak kompromi dalam ajaran itu. Yang diperlukan di sini adalah pendidikan kemurnian dan penjelasan tentang KBA sebaik mungkin. Keluarga-keluarga harus dibimbing untuk maju tahap demi tahap. Maka, yang bertugas dan bertanggungjawab dalam pastoral keluarga perlu memperhatikan proses ini.
Prokreasi juga meliputi pendidikan anak-anak. Tugas dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak ini merupakan hak esensial, orisinil dan primer, tak tergantikan dan tak terpindahkan. Semua itu didasarkan atas cinta sebagai prinsipnya. Anak-anak perlu dididik dalam nilai-nilai dasar: tidak lekat pada harta, adil karena cinta meluap, dan murni dalam seksualitas. Tentu saja masih hal lain, seperti pendidikan iman, pendidikan mengenal arah hidup atau panggilan, dan sebagainya, karena orang tua adalah ibu dan guru, seperti Gereja, dalam bidang iman. Hanya saja dalam hal pendidikan ini orang tua tidak atau bukan pendidik satu-satunya. Keluarga harus terbuka untuk bekerjasama dengan Gereja dan negara.
Ikut Serta Membangun Masyarakat
Keluarga Katolik bukanlah suatu pulau yang terpisah dari yang lain, melainkan sebagaimana keluarga-keluarga lainnya, merupakan sel masyarakat yang pertama yang menjadi dasar dan faktor penumbuh masyarakat, terutama lewat pelayanan yang berdasarkan cinta kepada sesama. Keluarga merupakan sekolah hidup bermasyarakat. Di situ ditumbuhkan semangat berkorban dan dialog tempat manusia dimanusiawikan. Masyarakat harus mengabdi kepentingan martabat manusia. Maka, negara harus menghargai hak-hak keluarga. Lewat sakramen perkawinan, suami-istri Kristen mendapat pengutusan khas awam, untuk menebus semua bidang-bidang kemasyarakatan, terutama untuk membela kaum miskin.
Keluarga Katolik harus menjadi “Gereja mini”, yang mengambil bagian dalam tugas perutusan Gereja dalam mewartakan Injil. Keluarga menjalankan tugas kenabiannya dengan menyambut dan mewartakan sabda, menjalankan fungsi kritis di dalam masyarakat serta membela kebenaran. Dengan sakramen Baptis, Penguatan, dan perkawinan, keluarga Katolik mempunyai tugas misioner, yakni mewartakan Injil kepada keluarga-keluarga yang kurang beriman dan kepada dunia, baik secara eksplisit maupun implisit melalui tingkah laku, kesetiaan dalam perkawinan, dan contoh hidup berkeluarga yang baik.
Berdasarkan tugas imamatnya, keluarga katolik bersatu dengan Allah lewat sakramen-sakramen, ibadat, dan doa. Keluarga dipanggil menuju kepada kesucian dan ikut membantu menyucikan Gereja dan dunia seluruhnya. Seperti sakramen-sakramen lainnya sakramen perkawinan juga merupakan tindakan liturgis memuliakan Allah dalam Yesus Kristus dan di dalam Gereja. Sakramen Perkawinan memberikan kepada suami-istri rahmat untuk memenuhi dua tanggung jawab, yaitu menerjemahkan misteri pemberian diri ke dalam hidup sehari-hari dan mengubah seluruh hidupnya menjadi korban persembahan yang harus mewangi dan hidup bagi Allah. Dengan cara ini hidup mereka merupakan ibadah, membawa kesucian di mana saja, dan sekaligus menyucikan dunia ini bagi Tuhan.
Hubungan kasih suami-istri terutama dikukuhkan dari sumber ilahi cinta mereka, yang diperoleh dari perayaan Ekaristi, sakramen yang menyatukan Gereja dengan Kristus begitu erat bagaikan sepasang suami-istri. Tugas imamat keluarga Kristiani juga dilaksanakan lewat pertobatan dan saling mengampuni, yang memuncak dalam penyambutan sakramen Tobat. Tugas pengudusan itu juga dilaksanakan dalam doa, yang bercirikan kebersamaan. Dalam doa diungkapkan suka duka hidup keluarga sehingga terjadi sharing. Orang tua wajib mendidik anak-anak mereka untuk berdoa, tahap demi tahap membangun jalinan hati dengan Allah secara pribadi. Itu harus dilakukan lewat teladan, dan doa bersama. Doa keluarga menyiapkan anggota keluarga untuk ibdat Gereja. Keluarga perlu pergi bersama ke gereja pada hari Minggu, mempersiapkan penerimaan sakramen-sakramen secara memadai, merenungkan sabda Allah, dan berdoa Rosario di rumah secara bersama.
Keluarga mempunyai tugas rajawi, yakni dengan melayani sesama manusia, seperti Kristus Raja (Rm 6:12) yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Keluarga harus melihat orang lain sebagai pribadi dan anak Allah, khususnya antara suami-istri dan anak-anak. Dan melalui cinta, keluarga bisa melihat orang lain di luar anggota keluarganya sebagai saudara-saudari dalam Kristus. Keluarga melihat wafat Kristus melalui orang miskin dan menderita. Oleh karena itu, mereka perlu dicintai dan dilayani. Semoga keluarga-keluarga Kristiani senantiasa menyadari bahwa persekutuan mereka bukan sekedar persekutuan manusiawi melainkan sekaligus Ilahi dan karena itu kudus.
_________________________
Darius Leka, SH/ Sumber: keuskupanpadang.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar