Kamis, 11 Juni 2020

Selamat Berkembang Biak Politik Dinasti

JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi keluarga petahana (pejabat incumbent) ikut serta dalam Pilkada Serentak banyak dikritik. Bahkan putusan ini dinilai mantan birokrat sebagai ‘pupuk’ untuk mendorong perkembangan politik dinasti . 
“Pertama, saya ucapkan selamat berkembang biak dinasti di daerah-daerah dan perbaikan pemerintah di daerah tersandung di MK,” kata mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djohermansyah Johan, di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis 9 Juli 2015.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Perancang UU Pilkada ini sangat menyayangkan MK mengeluarkan putusan yang ‘menggilas’ perbaikan birokrasi daerah. Padahal, politik dinasti ini menjadi perhatian pemerintah di era sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa semangat dalam aturan UU Pilkada ini bukan untuk menghapus hak sebagian orang. Namun, aturan mengatur potensi ‘permainan’ untuk melindungi masyarakat yang lebih luas.

Sebagai contoh, politik dinasti  dinilai sangat merugikan masyarakat karena petahana dapat menerapkan hukum besi bagi masyarakat. Hal ini perlu diatur karena petahana ini pengaruh birokrat, rakyat dan kekuasaan anggaran sangat kuat. Data Kemendagri pada 2013 menunjukkan 61 Kepala Daerah (KDH) terapkan politik dinasti. Angka yang mencapai 11 persen dari jumlah keseluruhan KDH di Indonesia ini didapat setelah Kemendagri melakukan evaluasi selama 10 tahun. “Latar belakang nepotisme bahwa AMPI (Anak, Menantu, Ponakan, Istri) merambat ke KDH dan legislatif kita. Makannya kita buat rambu-rambu yang membatasi bukan melarang,” tegas guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini.

“Bandingkan dengan HAM masyarakat yang tidak dapat maju, ribuan sampai jutaan hak rakyat diabaikan karena dihambat oleh kekuasaan. Kita kecewa,” tegas dia.

Pada 8 Juli 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan siapa saja yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan kepala daerah untuk mencalonkan diri dalam Pilkada.

Dalam putusannya terkait pengujian Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana, majelis hakim konstitusi menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUD 1945.

_____________________________
(Deel/metrotvnews. Keterangan foto: Mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djohermansyah Johan. (MI/ M. Irfan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar