![]() |
Kementerian Agama, lembaga yang sering dianggap sebagai
penjaga moral bangsa, ternyata memikul beban yang lebih berat dari sekadar
mengatur jadwal puasa dan haji. Menurut Drs. Atmonadi MSi, Asisten Administrasi
Pembangunan Setdakab Pelalawan, ada empat peran strategis yang dijalankan:
- Peningkatan
pemahaman dan pengamalan agama
- Pembinaan
kerukunan antar umat beragama
- Peningkatan
pendidikan agama dan keagamaan
- Pengawalan
akhlak dan moral bangsa
Terdengar ideal. Tapi seperti halnya khutbah Jumat yang
panjang, pertanyaannya bukan pada isi, melainkan pada implementasi.
Pendidikan agama digadang-gadang sebagai solusi atas
kebodohan dan krisis akhlak. Tapi mari kita jujur: apakah pendidikan agama kita
sudah cukup inklusif, atau justru memperkuat sekat-sekat identitas?
Di banyak sekolah, pelajaran agama masih bersifat monolitik.
Anak-anak diajarkan satu versi kebenaran, dan yang lain dianggap sesat. Maka
jangan heran jika dewasa nanti mereka tumbuh menjadi warga yang lebih mudah
mengutuk daripada berdialog.
Ada harapan besar agar rumah ibadah tak hanya menjadi tempat berdoa, tapi juga pusat kegiatan sosial. Tapi apakah itu sudah terjadi secara merata? Atau hanya menjadi jargon dalam pidato pejabat?
Jika rumah ibadah benar-benar menjadi pusat pemberdayaan,
maka seharusnya kita melihat lebih banyak program literasi, pelatihan kerja,
dan bantuan sosial yang lahir dari mimbar-mimbar suci. Bukan hanya ceramah
tentang surga dan neraka.
Baznas, infak, sedekah, wakaf—semua adalah instrumen ekonomi
keagamaan yang luar biasa. Tapi transparansi dan akuntabilitasnya masih menjadi
PR besar. Dana yang katanya untuk fakir miskin, kadang lebih sering mampir ke
kantong birokrasi.
Agama mengajarkan kejujuran. Tapi dalam praktik pengelolaan
dana sosial keagamaan, kadang kita lebih percaya pada audit Tuhan daripada
audit publik.
Kerukunan antar umat beragama sering dijadikan slogan. Tapi
di lapangan, konflik masih terjadi. Dialog lintas agama masih terbatas pada
seminar di hotel berbintang, bukan di warung kopi tempat rakyat biasa
berkumpul.
Jika kerukunan hanya dibicarakan oleh elite, maka ia akan
tetap menjadi mimpi. Kerukunan sejati lahir dari interaksi sehari-hari, dari
saling sapa di pasar, dari gotong royong di kampung.
Agama seharusnya menjadi cahaya yang menerangi jalan
pembangunan. Tapi kadang ia berubah menjadi bayangan yang menakutkan, ketika
digunakan untuk membenarkan kekuasaan, menjustifikasi diskriminasi, atau
menutup ruang kritik.
Pembangunan karakter bangsa tak bisa hanya mengandalkan
dogma. Ia butuh refleksi, dialog, dan keberanian untuk mengakui bahwa iman
tanpa akal adalah jalan buntu.
Agama bukan hanya soal surga dan neraka. Ia adalah soal
bagaimana kita hidup bersama di bumi yang sama. Jika agama tak mampu menjawab
tantangan kemiskinan, kebodohan, dan krisis moral, maka kita harus bertanya:
apakah kita benar-benar memahami pesan Tuhan, atau hanya sibuk menghafalnya?
Advokat Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar