Jumat, 12 Juni 2020

Agama di Tengah Pembangunan; Antara Doa dan Data


JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di negeri yang katanya religius, masjid megah berdiri di tiap sudut kota, gereja menjulang di bukit-bukit, pura dan vihara bersinar di antara sawah dan laut. Namun, di balik gemerlap rumah ibadah, tersimpan pertanyaan sunyi: apakah agama hanya menjadi ornamen spiritual, atau benar-benar berperan dalam membangun bangsa?

Kementerian Agama, lembaga yang sering dianggap sebagai penjaga moral bangsa, ternyata memikul beban yang lebih berat dari sekadar mengatur jadwal puasa dan haji. Menurut Drs. Atmonadi MSi, Asisten Administrasi Pembangunan Setdakab Pelalawan, ada empat peran strategis yang dijalankan:

  • Peningkatan pemahaman dan pengamalan agama
  • Pembinaan kerukunan antar umat beragama
  • Peningkatan pendidikan agama dan keagamaan
  • Pengawalan akhlak dan moral bangsa

Terdengar ideal. Tapi seperti halnya khutbah Jumat yang panjang, pertanyaannya bukan pada isi, melainkan pada implementasi.

Pendidikan agama digadang-gadang sebagai solusi atas kebodohan dan krisis akhlak. Tapi mari kita jujur: apakah pendidikan agama kita sudah cukup inklusif, atau justru memperkuat sekat-sekat identitas?

Di banyak sekolah, pelajaran agama masih bersifat monolitik. Anak-anak diajarkan satu versi kebenaran, dan yang lain dianggap sesat. Maka jangan heran jika dewasa nanti mereka tumbuh menjadi warga yang lebih mudah mengutuk daripada berdialog.

Ada harapan besar agar rumah ibadah tak hanya menjadi tempat berdoa, tapi juga pusat kegiatan sosial. Tapi apakah itu sudah terjadi secara merata? Atau hanya menjadi jargon dalam pidato pejabat?

Jika rumah ibadah benar-benar menjadi pusat pemberdayaan, maka seharusnya kita melihat lebih banyak program literasi, pelatihan kerja, dan bantuan sosial yang lahir dari mimbar-mimbar suci. Bukan hanya ceramah tentang surga dan neraka.

Baznas, infak, sedekah, wakaf—semua adalah instrumen ekonomi keagamaan yang luar biasa. Tapi transparansi dan akuntabilitasnya masih menjadi PR besar. Dana yang katanya untuk fakir miskin, kadang lebih sering mampir ke kantong birokrasi.

Agama mengajarkan kejujuran. Tapi dalam praktik pengelolaan dana sosial keagamaan, kadang kita lebih percaya pada audit Tuhan daripada audit publik.

Kerukunan antar umat beragama sering dijadikan slogan. Tapi di lapangan, konflik masih terjadi. Dialog lintas agama masih terbatas pada seminar di hotel berbintang, bukan di warung kopi tempat rakyat biasa berkumpul.

Jika kerukunan hanya dibicarakan oleh elite, maka ia akan tetap menjadi mimpi. Kerukunan sejati lahir dari interaksi sehari-hari, dari saling sapa di pasar, dari gotong royong di kampung.

Agama seharusnya menjadi cahaya yang menerangi jalan pembangunan. Tapi kadang ia berubah menjadi bayangan yang menakutkan, ketika digunakan untuk membenarkan kekuasaan, menjustifikasi diskriminasi, atau menutup ruang kritik.

Pembangunan karakter bangsa tak bisa hanya mengandalkan dogma. Ia butuh refleksi, dialog, dan keberanian untuk mengakui bahwa iman tanpa akal adalah jalan buntu.

Agama bukan hanya soal surga dan neraka. Ia adalah soal bagaimana kita hidup bersama di bumi yang sama. Jika agama tak mampu menjawab tantangan kemiskinan, kebodohan, dan krisis moral, maka kita harus bertanya: apakah kita benar-benar memahami pesan Tuhan, atau hanya sibuk menghafalnya?

 

Advokat Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar