Jumat, 12 Juni 2020

Ketika Iman Menjadi Alat; Potret Luka di Balik Jubah Kesalehan


JANGKARKEADILAN, BANTEN – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi toleransi, kadang suara azan dan lonceng gereja tak lagi berdentang berdampingan, melainkan saling bersahutan dalam nada curiga. Indonesia, negeri seribu pulau dan sejuta keyakinan, tampaknya masih gamang berdamai dengan keberagamannya sendiri.

Konstitusi kita, UUD 1945, dengan lantang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Namun, di lorong-lorong sempit realitas sosial, pasal-pasal itu seringkali hanya menjadi hiasan dinding ruang sidang. Di luar sana, minoritas masih dibungkam, dicurigai, bahkan dikriminalisasi—atas nama ketertiban umum dan penodaan agama.

Ah, "penodaan agama"—frasa yang kerap dipakai seperti palu godam untuk memukul siapa saja yang tak sejalan. Seolah-olah iman adalah milik eksklusif satu kelompok, dan yang lain hanyalah pengganggu ketenangan spiritual mayoritas.

Pada 6 Februari 2011, Cikeusik, Pandeglang, Banten. Tiga nyawa melayang, tujuh lainnya luka-luka. Bukan karena perang, bukan karena bencana. Tapi karena mereka berbeda keyakinan. Jemaat Ahmadiyah, yang tak diakui oleh sebagian besar umat Islam Indonesia, menjadi sasaran amuk massa. Ironisnya, sebagian pelaku merasa sedang membela Tuhan. Seolah Tuhan butuh dibela dengan parang dan pentungan.

Apakah ini wajah agama yang kita banggakan? Atau justru ini wajah kita yang sebenarnya, yang selama ini disembunyikan di balik jargon "Bhineka Tunggal Ika"?

Agama, dalam bingkai teologi, adalah kebenaran mutlak. Tak perlu diperdebatkan, cukup diimani. Tapi dalam kaca mata sosiologi, agama adalah institusi sosial—ia hidup, tumbuh, dan bisa berubah. Ia bisa menjadi perekat, tapi juga bisa menjadi pemantik konflik, tergantung siapa yang memegang korek apinya.

Dan korek itu, seringkali dipegang oleh mereka yang merasa paling suci, paling benar, dan paling berhak menentukan siapa yang boleh hidup berdampingan dan siapa yang harus disingkirkan.

Juni 2008, lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang membatasi gerak Jemaat Ahmadiyah. Dalihnya: menjaga ketertiban. Tapi bukankah ketertiban yang dibangun di atas ketakutan dan diskriminasi adalah tirani yang dibungkus rapi?

SKB itu bukan sekadar dokumen administratif. Ia adalah simbol bahwa negara, yang seharusnya menjadi pelindung semua warganya, justru ikut menekan yang lemah demi meredam amarah yang kuat.

Konflik ini bukan muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari benih yang ditanam sejak dini. Dari pelajaran agama yang hanya mengenalkan satu kebenaran. Dari guru yang mengajarkan bahwa "mereka" adalah sesat. Dari mimbar-mimbar yang lebih suka mengutuk daripada merangkul.

Jika pluralisme tak diajarkan sejak kecil, jangan heran jika dewasa nanti kita tumbuh menjadi manusia yang alergi terhadap perbedaan.

Pertanyaan besarnya: mengapa hukum tak mampu mencegah kekerasan atas nama agama? Mengapa pelaku kekerasan massal seringkali hanya mendapat hukuman ringan, sementara korban justru dikriminalisasi?

Apakah hukum kita benar-benar buta, atau hanya pura-pura tak melihat?

Masih. Selama kita mau jujur melihat luka, bukan menutupinya dengan dalih kesalehan. Selama kita mau mengakui bahwa iman bukan alasan untuk menindas. Selama negara hadir bukan hanya sebagai penonton, tapi sebagai pelindung semua anak bangsa—tanpa kecuali.

Pluralisme bukan ancaman. Ia adalah kekayaan. Tapi seperti emas, ia harus ditambang, dipoles, dan dijaga. Jika tidak, ia akan berubah menjadi bara yang membakar rumah kita sendiri.

Karena pada akhirnya, Tuhan tak pernah meminta kita membela-Nya dengan kekerasan. Ia hanya meminta kita mencintai sesama, bahkan yang berbeda iman sekalipun.


Advokat Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar