![]() |
Ketua MPR Zulkifli Hasan, dalam acara World Interfaith
Harmony Week 2015, menyampaikan pesan yang menggugah: “Musuh kita bukan lagi
suku atau agama. Musuh kita adalah kemiskinan, gizi buruk, pendidikan yang
tertinggal, dan pengangguran yang merajalela.”
Pernyataan ini bukan sekadar retorika. Ia adalah pengakuan
bahwa bangsa ini sudah terlalu lama sibuk mengurusi perbedaan, hingga lupa
bahwa perut yang lapar tak peduli apa warna bendera atau kitab suci.
Zulkifli mengajak umat beragama untuk turun tangan.
“Tolong-menolong adalah ajaran semua agama. Yang mampu harus membantu yang
tidak mampu.” Tapi pertanyaannya: apakah kita sudah melakukannya, atau hanya
sibuk berdebat soal surga dan neraka?
Agama sejati, kata Din Syamsuddin, adalah agama yang membawa
perdamaian dan kemaslahatan. Tapi perdamaian tak cukup dengan doa. Ia butuh
aksi. Ia butuh nasi.
Perwakilan dari berbagai agama bersuara satu: kemiskinan adalah musuh bersama. Dari Hindu, Khonghucu, Kristen, Katolik, Islam, hingga Buddha—semua sepakat bahwa perbedaan bukan penghalang, melainkan kekuatan.
SN Suwisma dari Parisada Hindu Dharma Indonesia berkata,
“Aku adalah kami dan kami adalah aku.” Sebuah kalimat yang seharusnya menjadi
mantra nasional, bukan sekadar kutipan seremoni.
Romo Paskalis dari KWI mengingatkan bahwa persaudaraan bukan
dibangun dari kesamaan politik, tapi dari kesadaran bahwa kita diciptakan satu
oleh Tuhan. Sementara Iqbal Sullam dari PBNU menegaskan bahwa bumi adalah satu,
dan perbedaan harus dirajut demi keridhaan Tuhan.
Walubi pun mengingatkan bahwa hidup adalah anugerah, dan
manusia harus berguna bagi semua makhluk. Karena pada akhirnya, semua akan tua,
sakit, dan mati. Maka jangan mati dalam kesia-siaan.
Dalam perspektif hukum, kemiskinan bukan sekadar statistik.
Ia adalah pelanggaran hak asasi manusia. Hak atas pendidikan, kesehatan,
pekerjaan, dan kehidupan yang layak. Maka partisipasi umat beragama dalam
memerangi kemiskinan bukan hanya moralitas, tapi juga legalitas.
Negara memang punya tanggung jawab. Tapi masyarakat,
terutama tokoh agama, punya kekuatan untuk menggerakkan hati dan tangan. Karena
hukum tanpa nurani adalah kekuasaan yang dingin. Dan nurani tanpa aksi adalah
doa yang tak pernah sampai.
Jika agama hanya menjadi ritual, maka ia akan mati di altar.
Tapi jika agama menjadi gerakan, maka ia akan hidup di dapur, di sekolah, di
puskesmas, dan di hati rakyat.
Advokat Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar