JANGKARKEADILAN, JAKARTA –Di negeri yang katanya menjunjung tinggi toleransi, sebuah buku bisa menjadi peluru. Fiqih Lintas Agama—judul yang terdengar seperti jembatan, tapi bagi sebagian orang, justru seperti bom waktu. Buku ini bukan sekadar kumpulan dalil, tapi manifestasi keberanian intelektual yang menantang dogma lama. Ia tidak mengetuk pintu fiqh klasik, tapi mendobraknya.
Buku ini lahir dari rahim kegelisahan: mengapa fiqh selama
ini hanya bicara tentang “kita” dan bukan “mereka”? Mengapa relasi antaragama
selalu dibingkai dalam dikotomi halal-haram, sah-tidak sah, kafir-mukmin? Fiqih
Lintas Agama mencoba menjawab dengan cara yang tidak biasa—dan di situlah
kontroversinya bermula.
Penulis buku ini, dengan gaya yang kadang dianggap arogan
oleh sebagian ulama, mengusung gagasan bahwa fiqh harus melintasi batas-batas
teologis. Ia mengusulkan fiqh yang tidak hanya mengatur umat Islam, tapi juga
merangkul umat lain dalam bingkai kemanusiaan dan keadilan. Pernikahan beda
agama, hak waris lintas keyakinan, bahkan doa bersama antarumat beragama—semua
dibahas dengan pendekatan inklusif dan pluralis.
Namun, bagi teologi eksklusif, ini adalah pengkhianatan terhadap tauhid. Mereka menilai bahwa fiqh tidak bisa netral terhadap akidah. Agama-agama lain, meski berasal dari tradisi Ibrahim, telah menyimpang dari monoteisme murni. Maka, membangun fiqh di atas pluralisme dianggap seperti membangun rumah di atas pasir.
Sebagian ulama menyebut buku ini sebagai bentuk dekonstruksi
terhadap fiqh klasik. Mereka menyoroti penggunaan dalil yang dianggap tidak
kontekstual, serta interpretasi yang terlalu bebas terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an. Bahasa yang digunakan pun dinilai kurang santun terhadap karya-karya
ulama terdahulu.
Namun, di sisi lain, buku ini membuka ruang diskusi yang
selama ini terkunci. Seminar demi seminar digelar, bukan untuk membakar buku,
tapi membedahnya. Ini menunjukkan bahwa meski kontroversial, Fiqih Lintas
Agama berhasil memantik kesadaran baru: bahwa fiqh bukanlah kitab suci,
melainkan produk pemikiran yang bisa dikritisi dan diperbarui.
Sebagaimana iman tidak cukup hanya dengan hati dan lisan,
fiqh pun tidak cukup hanya dengan teks dan dalil. Ia harus beramal, menyentuh
realitas sosial yang kompleks. Dalam dunia yang semakin plural, fiqh yang
eksklusif bisa menjadi tembok, sementara fiqh yang inklusif bisa menjadi
jembatan.
Apakah Fiqih Lintas Agama adalah jembatan atau
jebakan? Jawabannya tergantung pada keberanian kita untuk berdialog, bukan
hanya berdebat.
Adv. Darius Leka, S.H. (Praktisi Hukum dan Aktivis Lintas Agama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar