Jumat, 12 Juni 2020

Fiqih Lintas Agama; Ketika Sekat Keyakinan Diterobos oleh Pena


JANGKARKEADILAN, JAKARTA –Di negeri yang katanya menjunjung tinggi toleransi, sebuah buku bisa menjadi peluru. Fiqih Lintas Agama—judul yang terdengar seperti jembatan, tapi bagi sebagian orang, justru seperti bom waktu. Buku ini bukan sekadar kumpulan dalil, tapi manifestasi keberanian intelektual yang menantang dogma lama. Ia tidak mengetuk pintu fiqh klasik, tapi mendobraknya.

Buku ini lahir dari rahim kegelisahan: mengapa fiqh selama ini hanya bicara tentang “kita” dan bukan “mereka”? Mengapa relasi antaragama selalu dibingkai dalam dikotomi halal-haram, sah-tidak sah, kafir-mukmin? Fiqih Lintas Agama mencoba menjawab dengan cara yang tidak biasa—dan di situlah kontroversinya bermula.

Penulis buku ini, dengan gaya yang kadang dianggap arogan oleh sebagian ulama, mengusung gagasan bahwa fiqh harus melintasi batas-batas teologis. Ia mengusulkan fiqh yang tidak hanya mengatur umat Islam, tapi juga merangkul umat lain dalam bingkai kemanusiaan dan keadilan. Pernikahan beda agama, hak waris lintas keyakinan, bahkan doa bersama antarumat beragama—semua dibahas dengan pendekatan inklusif dan pluralis.

Namun, bagi teologi eksklusif, ini adalah pengkhianatan terhadap tauhid. Mereka menilai bahwa fiqh tidak bisa netral terhadap akidah. Agama-agama lain, meski berasal dari tradisi Ibrahim, telah menyimpang dari monoteisme murni. Maka, membangun fiqh di atas pluralisme dianggap seperti membangun rumah di atas pasir.

Sebagian ulama menyebut buku ini sebagai bentuk dekonstruksi terhadap fiqh klasik. Mereka menyoroti penggunaan dalil yang dianggap tidak kontekstual, serta interpretasi yang terlalu bebas terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Bahasa yang digunakan pun dinilai kurang santun terhadap karya-karya ulama terdahulu.

Namun, di sisi lain, buku ini membuka ruang diskusi yang selama ini terkunci. Seminar demi seminar digelar, bukan untuk membakar buku, tapi membedahnya. Ini menunjukkan bahwa meski kontroversial, Fiqih Lintas Agama berhasil memantik kesadaran baru: bahwa fiqh bukanlah kitab suci, melainkan produk pemikiran yang bisa dikritisi dan diperbarui.

Sebagaimana iman tidak cukup hanya dengan hati dan lisan, fiqh pun tidak cukup hanya dengan teks dan dalil. Ia harus beramal, menyentuh realitas sosial yang kompleks. Dalam dunia yang semakin plural, fiqh yang eksklusif bisa menjadi tembok, sementara fiqh yang inklusif bisa menjadi jembatan.

Apakah Fiqih Lintas Agama adalah jembatan atau jebakan? Jawabannya tergantung pada keberanian kita untuk berdialog, bukan hanya berdebat.

 

Adv. Darius Leka, S.H. (Praktisi Hukum dan Aktivis Lintas Agama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar