Jumat, 12 Juni 2020

Donor Darah Toleransi; Ketika Setetes Darah Menjadi Simfoni Kebangsaan


JANGKARKEADILAN, SURABAYA – Di negeri yang kadang lebih sibuk menghitung perbedaan daripada menyemai persamaan, sebuah kegiatan sederhana di sudut Surabaya menjadi tamparan lembut bagi mereka yang gemar mengkotak-kotakkan manusia. Kamis, 19 Februari 2015, di gang kecil kawasan Bubutan, darah ditumpahkan. Bukan karena konflik, tapi karena cinta.

Di bawah langit Masjid An Nur, spanduk bertuliskan “Donor Darah Toleransi” berkibar seperti manifesto kemanusiaan. Di sana, umat dari berbagai agama dan keyakinan berkumpul, bukan untuk berdebat soal surga dan neraka, tapi untuk menyumbangkan darah—yang warnanya sama merah, tak peduli dari tubuh siapa ia mengalir.

Secara hukum, donor darah adalah bentuk partisipasi warga negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Negara wajib hadir, tapi masyarakat pun punya peran. Ketika negara belum mampu memenuhi kebutuhan darah secara merata, maka kegiatan seperti ini bukan hanya mulia, tapi juga konstitusional.

Namun, yang membuat kegiatan ini istimewa bukan hanya aspek legalnya, melainkan pesan moralnya: bahwa hukum tertinggi adalah kemanusiaan. Dalam konteks hukum Islam pun, menyelamatkan nyawa adalah bagian dari maqashid syariah—tujuan utama hukum Islam. Maka, donor darah lintas iman bukan hanya sah, tapi juga sangat dianjurkan.

Aliansi lintas agama yang tergabung dalam Sobat KBB, komunitas Ahmadiyah, GKJW, aparat TNI, Polri, dan masyarakat umum, semua bersatu dalam satu tindakan: menyumbangkan darah. Dari 78 pendaftar, 33 orang lolos dan darah mereka kini mungkin mengalir di tubuh orang yang tak mereka kenal, mungkin berbeda agama, mungkin berbeda pilihan politik—tapi tetap manusia.

Seorang pendonor dari kepolisian berkata, “Senang rasanya bisa mengikuti donor darah toleransi ini.” Pendonor dari GKJW menambahkan, “Kebersamaan itu masih ada.” Dan seorang dari Ahmadiyah menyimpulkan dengan puitis, “Meskipun kita berbeda agama dan keyakinan, tapi tokh darah kita tetap sama merah warnanya.”

Ironisnya, di saat dunia sibuk dengan konflik berbasis agama, di gang sempit Bubutan, darah ditumpahkan untuk menyelamatkan nyawa. Sementara di tempat lain, darah ditumpahkan karena perbedaan tafsir. Di sini, tafsirnya sederhana: kemanusiaan lebih penting daripada klaim kebenaran.

Mas Akhol Firdaus, aktivis Sobat KBB, menyatakan, “Kalau dada ini dibelah isinya Pancasila, kalau darah ini kita tumpahkan isinya Bhineka Tunggal Ika.” Sebuah pernyataan yang seharusnya menjadi bahan renungan bagi mereka yang gemar menyematkan label kafir, sesat, atau menyimpang.

Donor darah lintas iman bukan hanya aksi sosial, tapi juga pernyataan politik—politik kemanusiaan. Ia membuktikan bahwa hukum bisa berdetak bersama nurani, bahwa toleransi bisa dimulai dari jarum suntik, dan bahwa Indonesia masih punya harapan, selama darah kita masih merah dan hati kita masih terbuka.


Adv. Darius Leka, S.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar